Skip to main content

RUKUN IMAN DAN PENGAPLIKASIAN IMAN DALAM KEHIDUPAN

RUKUN IMAN DAN PENGAPLIKASIAN IMAN DALAM KEHIDUPAN



2.1 Pengertian Iman

·       ­Pengertian iman menurut bahasa adalah mempercayai atau membenarkan. Diambil dari bahasa arab: الإيمان dari kata kerja 'aamana' (أمن) -- yukminu' (يؤمن) yang berarti 'percaya' atau 'membenarkan'.Iman berasal dari kata aamana-yu’minu yang berarti tasdiq mempercayai atau membenarkan.
·       Dan menurut istilah Iman ialah “Membenarkan dengan hati diucapkan dgn lisan dan dibuktikan dgn amal perbuatan.”
           
Sahl bin Abdullah At-Tustari ketika ditanya tentang apakah sebenarnya iman itu beliau menjawab demikian “Qaulun wa amalun wa niyyatun wa sunnatun.” Artinya Ucapan yg disertai dgn perbuatan diiringi dgn ketulusan niat dan dilandasi dgn Sunnah. Kata beliau selanjutnya “Sebab iman itu apabila hanya ucapan tanpa disertai perbuatan adalaha kufur apabila hanya ucapan dan perbuatan tanpa diiringi ketulusan niat adalah nifaq sedang apabila hanya ucapan perbuatan dan ketulusan niat tanpa dilandasi dgn sunnah adalah bid’ah.
Menurut hasan hanafi para teolog muslim dalam membicarakan tentang iman , ada empat istilah kunci yang biasanya dipakai yaitu:
-        Marifah bi al-aql atau dengan menggunakan akal
-        Amal ,pernuatan baik dan patuh
-        Iqrar , pengakuan secara lisan
-        Tashdiq ,atau membenarkan dalam hati

1.    Iman jika hanya diucapkan oleh mulut saja dan belum dilakukan dengan perbuatan belumlah dikatakan orang yang beriman ,sesuai dengan isi kandungan alqur’an Qs al-baqarah ,2:8-9 :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
Artinya :
“Dan diantara manusia itu ada yang mengatakan dirinya beriman ‘’kami beriman lepada Allah dan pada hari akhirat ‘’sedang yang sebenarnya mereka bukanlah orang-orang yang beriman, tetapi mereka menipu diri mereka sendiri dan mereka tidak sadar”
2.    Iman dalam arti hanya perbuatannya saja yang beriman, tetapi ucapan dan hatinyatidak beriman., dapat dilihat dari QS. An- Nisa, 4: 142:

Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang munafik (beriman palsu) itu hendak menipu mereka.Apabila mereka berdiri mengerjakan sembahyang, mereka berdiri dengam malas , mereka ria (mengambil muka) kepada manusia dan tiada mengingat Allah melainkan sedikit sekali”

3.    Iman dalam arti yang ketiga adalah tashdiqun bi al-qalb wa amalun bi al-jawatih,    artinya keadaan dimana pengakuan dengan lisan itu diiringi dengan pembenaran hati,dan mengerjakan apa yang diimankannya dengan perbuatan anggota badan. Contohiman model ini dapat dilihat dalam QS. Al- Hadid, 57:19.

وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَٰئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ ۖ
Artinya :
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu adalah orang- orang yang Shiddiqien”.

Berdasarkan informasi ayat-ayat tersebut dapat diketahui bahwa di dalam al-Qur’an kata iman digunakan untuk tiga arti yaitu iman yang hanya sebatas pada ucapan, iman sebatas pada perbuatan, dan iman yang mencakup ucapan. Perbuatan dan keyakinan dalam hati.

2.2                        Dasar Keimanan
1.     Iman kepada Allah:
Beriman kepada Allah artinya berikrar dengan macam macamnya tauhid yang tiga serta beri’tiqad dan beramal dengannya, yaitu:
·       tauhid Rububiyah,
·       tauhid Uluhiyah, dan
·       tauhid Asma’ dan sifat.
Adapun tauhid Rububiyah adalah mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Tauhid Uluhiyah artinya mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba yang dengan itu mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah, apabila memang hal itu disyariatkan oleh-Nya seperti berdo’a, takut, berharap, cinta, penyembelihan, nadzar,  istighatsah ( minta bantuan), minta perlindungan, shalat, puasa, haji, berinfaq di jalan Allah dan segala apa saja yang disyariatkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali, maupun yang lainnya.
Sedangkan makna tauhid  Al Asma’ Wash- shifat adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas Dirinya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah  dan mensucikannya dari segala ‘aib dan kekurangan sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Alloh dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini tanpa melakukan tamtsil (perumpamaan), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tahrif (penyelewengan ), ta’thil ( penafian), dan tanpa takwil.
2.     Iman kepada para Malaikat-Nya:
Yakni membenarkan adanya para malaikat, dan bahwasanya mereka itu adalah makhluk dari sekian banyak makhluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah menciptakan malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah-perintah-Nya di dunia ini.
3.     Iman kepada Kitab- kitab-Nya:
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang menurunkan Kitab-kitab itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah mengimani bahwa Al Qur’an itu adalah kalam (firman) Allah, dan dia bukanlah  makhluk baik huruf maupun artinya. Berbeda dengan pendapat golongan Jahmiah dan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur,an adalah makhluk baik huruf maupun maknanya. Berbeda pula dengan pendapat Asy’ariyah dan yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa kalam ( firman Allah ) hanyalah artinya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah makhluk. Menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaah kedua pendapat tersrbut adalah bathil.
4.     Iman kepada para Rasul:
Yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang Allah sebutkan nama mereka maupun yang tidak, dari yang pertama sampai yang terakhir, dan penutup para nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad r. Artinya pula, beriman kepada para rasul seluruhnya dan beriman kepada nabi kita secara terperinci, serta mengimani bahwasanya bahwa beliau adalah penutup para nabi dan para rasul dan tidak ada nabi sesudahnya. Maka barang siapa yang keimanannya kepada para rasul tidak demikian berarti  dia telah kafir. Termasuk pula beriman kepada para rasul adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka dan harus berbeda dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang berlebih-lebihan terhadap para rasul mereka, sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu seperti memperlakukannya terhadap tuhan (Allah),
5.     Iman kepada hari kiamat: 
Yakni membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian dari hal-hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya, baik tentang adzab dan nikmat qubur, hari kebangkitan dari qubur,, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangkannya segala amal perbuatan, dan pemberian buku laporan amal dengan tangan kanan atau tangan kiri, tentang jembatan ( shirath ), serta surga atau neraka, di samping itu keimanan untuk bersiap sedia dengan amalan shaleh, dan meninggalkan amalan sayyiaat ( jahat ) serta bertaubat dari padanya. Dan sungguh telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani tidak mengimani hal ini dengan keimanan yang benar sesuai dengan tuntunan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir.
6.     Imam kepada Qadha dan Qadar yang baik maupun yang buruk:
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam mahfudz; dan bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, taat, maksiat, itu telah dikehendaki, ditentukan, dan diciptakan-Nya, dan bahwasanya Allah itu mencintai ketaatan dan membenci kamaksiatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak, dan kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang menghantar mereka pada ketaatan atau kemaksiatan, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat golongan jabariah yang mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan pekerjan-pekerjaannya, tidak memiliki pilihan atau kemampuan, sebaliknya golongan qadariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptakan pekerjaan dirinya, kemauan dan kehendak itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.
2.3 Prinsip Beriman
Prinsip pertama :
Iman itu perkataan, perbutan, dan keyakinan yang bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan, maka iman itu bukan hanya perkataan  dan perbuatan tanpa keyakinan. sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah (pengetahuan) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran.
Prinsip kedua :
Tidak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain kemusyrikan dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir, misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi di hukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila ia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Ia berkehendak Ia akan mengampuninya dan jika Ia berkehendak Ia akan mengazdabnya, namun sipelaku tidak kekal di neraka. Dan madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam masalah ini di antara tengah-tengah khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan termasuk syirik, dan murjiah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mukmin sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu dosa maksiat dengan adanya iman, sebagaimana tak berarti suatu perbuatan taat dengan adanya kekafiran.
Prinsip ketiga :
Wajibnya taat kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat, apa bila mereka memerintahkan berbuat maksiat di kala itulah kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya. Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah memandang bahwa maksiat kepada seorang amir yang muslim itu merupakan maksiat kepada Rasulullah r. Demikian pula Ahlus Sunnah Wal Jamaah memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para amir dan menasehati serta mendoakan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.
Prinsip keempat:
Haramnya keluar untuk memberontak terhadap pimpinan kaum muslimin apabila melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah r tentang wajibnya taat kepada mereka dalam hal-hal yang bukan maksiat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinam para imam pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur, dan mereka memandang amalan tersebut sebagai amar ma’ruf nahi mungkar. Sedang pada kenyataannya Mu’tazilah seperti ini merupakan kemungkaran yang besar karena menuntut adanya bahaya bahaya yang besar baik berupa kericuan, keributan, dan kerawanan dari pihak musuh.
Prinsip kelima :
Bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasuly. Berlainan dengan sikap dengan orang-orang ahlul bid’ah baik dari kalangan Rafidhah maupun khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat. Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah r adalah Abu Bakar, kemudian, Umar bin Khatab, ‘Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib RA. Barang siapa yang mencela salah satu khalifah di antara mereka, maka dia lebih sesat dari pada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma’ atas kekhalifahan mereka dalan urutan seperti ini.
Prinsip keenam:
Mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasulullah r dalan sabdanya :
” أذكركم الله في أهل بيتي “
“ Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku “
Sedang yang termasuk ahli bait ( keluarga ) beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin. Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi r dan yang dimaksudkan di sini khususnya adalah yang shaleh di antara mereka. Sedang saudara-saudara dekat yang tidak shaleh, seperti pamannya, Abu Lahab, maka mereka tidak memiliki hak. Mereka sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul r tanpa keshalehan dalam beragama ( Islam ) tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya. Dan saudara-saudara Rasulullah  r yang shaleh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil,
Prinsip ketujuh :
Membenarkan adanya karomah para wali, yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut di antaranya mu’tazilah dan Jahmiah, yang pada hakekatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya. Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah, baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian yang luar biasa lainnya itu jelas. Karomah adalah kejadian luar biasa  yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang shaleh, sedang sihir adalah keluarbiasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengaruk harta-harta mereka. Karomah bersumber pada kataatan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan kemaksiatan.
Prinsip kedelapan :
Bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah r  baik secara lahir maupun batin dan mengikuti apa-apa yang di jalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaurrasyidin
Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah r. Oleh karena itu mereka di namakan Ahlul Kitab was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al Qur’an dan As Sunnah  mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ‘ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar ketiga yang selalu dijadikan sandaran setelah dua dasar yang pertama; yakni Al Qur’an dan As Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah.
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’suman seseorang selain Rasulullah r dan mereka tidak berta’assub ( fanatik) pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan  Al Kitab dan As Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali mereka yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi. Perbedaan perbedaan di antara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan di antara mereka, sebagaimana yang di lakukan oleh orang-orang yang taassub  ( fanatik ) dan ahli bid’ah. Sungguh mereka tetap mentolerer perbedaan yang layak (wajar), bahkan mereka tetap saling mencinta, berwali (berloyalitas ) satu sama yang lain; sebagian mereka tetap shalat di belakang yang lain betapun ada perbedaan masalah far’I (cabang) di antara mereka. Sedang ahli bid’ah memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang, yang menyimpang dari golongan mereka.

2.4 Beriman dalam Pandangan Islam
Bagaimana tipe orang yang beriman dalam pandangan Al- Qur’an, atau bagaimana seharusnya gambaran karakteristik dari iman. Secara singkat, bagaimana seseorang beriman yang idealis diharapkan bertingkah laku secara sosial dan relegius. Ini semua merupakan permasalahan yang paling penting yang harus kita tanyakan mengenai iman, dan tidak hanya secara umum tetapi juga dari sudut pandang kita yang spesifik, karena jawaban-jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan isi sematik dari makna kata iman (pecaya ) dan orang yang beriman dalam konteks Al-Qur’an. Mari kita mulai dengan sebuah ayat di mana iman secara eksklusif dinilai dalam berbagai aspek religiusnya. Ayat ini mempunyai relevasi khusus dengan penelitian kita, karena memuat sebuah definisi verbal yang hampir sempurna mengenai orang beriman yang sesungguhnya , seperti firman Allah dalam surat Al-Anfaal, ayat 2-4.

                


Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia”. (QS, Al-Anfaal, 2-4).
Definisi verbal ini menggambarkan orang yang beriman dalam pengertian kata yang benar sebagai orang yang benar-benar saleh, yang di dalam hatinya selalu disebutkan asma Allah, dan ini cukup untuk membangkitkan rasa khidmat yang mendalam, serta orang yang keseluruhan hidupnya ditentukan oleh dorongan hatinya yang benar-benar mendalam. Kutipan berikut lebih menunjukkan manifestasi luar dari kesalehan, seperti firman Allah dalam surat At-Taubah ayat, 112.
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu” . (QS, At-Taubah, 112).
Keyakinan yang sungguh-sungguh akan menghasilkan motif yang paling kuat yang mendorong manusia untuk berbuat baik, jika tidak demikian maka keyakinan itu belum sungguh-sungguh. Sikap yang mendasar, seperti perasaan berdosa dan khidmat dihadapan Allah, patuh terhadap perintah Allah, rasa syukur terhadap nikmat Allah, semua unsur inilah yang memberikan ciri keimanan islam yang tertinggi, yang harus diwujudkan dalam perbuatan baik (salihat ) yang telah diakui secara resmi. Selanjutnya, mereka harus menemukan ekspresi hampir setiap tindakan dalam hubungan antar manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan dasar antara keyakinan dengan perbuatan baik ini, kemudian dalam teologi menunjukkan makna penting yang tinggi ketika Murji’ h menganjurkan pertanyaan itu dalam bentuk yang lebih keras denga menegaskan bahwa ’keyakinan’ merupakan perbuatan yang sangat independent, apapun dosa yang telah dilakukan seseorang tidak mempengaruhi diri seseorang sebagai ‘orang beriman’yang sebenarnya jika hanya kenyakinan yang ada.
Orang beriman yang sebenar-benarnya adalah sebagai berikut: Sikap dasar hilm, mencurahkan ibadah secara konstan, takut pada hari kiamat, memberikan zakat sebagai amal saleh yang paling penting, tanpa dengan mengarah pada sifat kedermawanan jahiliyah yang sifatnya hanya menurutkan kata hati dan sombong, menjauhi perbuatan jahil yang dilarang dengan tegas oleh Allah, seperti politisme, membunuh mahluk hidup tanpa alasan yang benar, berbuat zina, menghindari sumpah palsu dan omong kosong, perasaan yang tajam terhadap makna terdalam dari wahyu, dan ketentraman serta kebahagian hidup di dunia ini, berdasarkan harapan akan hari kemudian.
Kemudian dengan menerapkan prinsip-prinsip beriman yang telah dikemukakan diatas,  maka keimanan akan teraplikasi dalam setiap sendi kehidupan kita dan akan muncullah sifat-sifat yang agung sebagai pelengkap aqidah yang di imani atau diyakininya.
Di antara sifat-sifat yang agung itu adalah :
1.    Mereka beramar ma’ruf dan nahi mungkar atas dasar ilmu
2.    Ahlus Sunnah Wal Jamaah tetap menjaga tegaknya syi’ar Islam baik dengan menegakkan shalat jum’at dan shalat berjamaah sebagai pembeda pembeda terhadap kalangan ahli bid’ah dan orang-orang munafiq yang tidak mendirikan shalat Jum’at maupun shalat jamaah.
3.    Memberikan nasehat bagi setiap muslim, bekerja sama dan tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa
4.    Mereka tegar balam menhadapi ujian-ujian dengan sabar ketika mendapat cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan kenikmatan dan menerimanya sesuai dengan ketentuan Allah.

5.    Bahwasanya mereka selalu berakhlak mulia dan beramal baik, berbuat baik kepada orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzalim.

Comments

  1. Mampir jg kak di http://cengcen.blogspot.com/2018/06/makalah-puasa-hukum-syarat-rukun.html

    Referensi dari kitab taqrirotul sa'didah

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pengertian Positivisme

Pengertian Positivisme Pengertian Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Tokoh aliran ini adalah August Comte (1798-1857). Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya ekspe

MAKALAH TENTANG PUASA

BAB I PENDAHULUAN A.     Latarbelakang Seperti yang kita ketahui agama islam mempunyai lima rukun islam yang salah satunya ialah puasa, yang mana puasa termasuk rukun islam yang keempat. Karena puasa itu termasuk rukun islam jadi, semua umat islam wajib melaksanakannya namun pada kenyataannya banyak umat islam yang tidak melaksanakannya, karena apa? Itu semua karena mereka tidak mengetahui manfaat dan hikmah puasa. Bahkan, umat muslim juga masih banyak yang tidak mengetahui pengertian puasa, dan bagaimana menjalankan puasa dengan baik dan benar. Banyak orang-orang yang melaksanakan puasa hanya sekedar melaksanakan, tanpa mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya, pada saat mereka berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar saja. Sangatlah rugi bagi kita jika sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala. Oleh karena itu dalam makalah ini saya akan membahas tentang apa itu puasa, tujuan, hikmah puasa dan lain-lain. B.     

Code Gray, Seven Segment, dan ASCII

Code Gray, Seven Segment, dan ASCII 1. GRAY CODING ·          Gambaran umum Gray Code? Gray code merupakan cerminan dari binary code (kode biner), yang artinya angka terkhir pada string dapat sama dengan angka awal.tetap dalam urutan terbalik,sehingga dapat memungkinkan untuk membangun dan meningkatkan kegunaan dari kode biner standar atau natural. FRANK GRAY ,peneliti Bell labs,dimana nama belakangnya digunakan (Grey Code) ,mengembangkan sistem bilangan biner ini untuk membantu mengontrol electromechanical switch. Saat ini, Grey code digunakan untuk berbagai macam Environment, terutama pada komunikasi digital dimana sinyal analog perlu diubah menjadi media digital. ·          Apa itu Gray Code? Gray code merupakan bentuk biner yang menggunakan metode yang berbeda dari incrementing dari nomor satu ke berikutnya. Dengan gray code, hanya terdapat satu perubahan keadaan dari satu posisi ke posisi lainnya. Fitur ini memungkinkan perancang sistem untuk melakukan beberapa