RUKUN IMAN DAN PENGAPLIKASIAN IMAN DALAM KEHIDUPAN
2.1 Pengertian
Iman
·
Pengertian iman menurut bahasa adalah mempercayai atau membenarkan. Diambil
dari bahasa arab: الإيمان dari
kata kerja 'aamana' (أمن) -- yukminu' (يؤمن) yang berarti 'percaya' atau
'membenarkan'.Iman berasal dari kata aamana-yu’minu yang berarti
tasdiq mempercayai atau membenarkan.
·
Dan
menurut istilah Iman ialah “Membenarkan dengan hati diucapkan dgn lisan dan
dibuktikan dgn amal perbuatan.”
Sahl
bin Abdullah At-Tustari ketika ditanya tentang apakah sebenarnya iman itu
beliau menjawab demikian “Qaulun wa amalun wa niyyatun wa sunnatun.”
Artinya Ucapan yg disertai dgn perbuatan diiringi dgn ketulusan niat dan
dilandasi dgn Sunnah. Kata beliau selanjutnya “Sebab iman itu apabila hanya
ucapan tanpa disertai perbuatan adalaha kufur apabila hanya ucapan dan
perbuatan tanpa diiringi ketulusan niat adalah nifaq sedang apabila hanya
ucapan perbuatan dan ketulusan niat tanpa dilandasi dgn sunnah adalah bid’ah.
Menurut
hasan hanafi para teolog muslim dalam membicarakan tentang iman , ada empat
istilah kunci yang biasanya dipakai yaitu:
-
Marifah bi al-aql atau
dengan menggunakan akal
-
Amal ,pernuatan baik
dan patuh
-
Iqrar , pengakuan
secara lisan
-
Tashdiq ,atau
membenarkan dalam hati
1. Iman jika hanya diucapkan oleh mulut saja dan belum dilakukan dengan
perbuatan belumlah dikatakan orang yang beriman ,sesuai dengan isi kandungan
alqur’an Qs al-baqarah ,2:8-9 :
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ
بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ
إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
Artinya :
“Dan diantara manusia itu ada yang mengatakan dirinya beriman ‘’kami
beriman lepada Allah dan pada hari akhirat ‘’sedang yang sebenarnya mereka
bukanlah orang-orang yang beriman, tetapi mereka menipu diri mereka sendiri dan
mereka tidak sadar”
2. Iman dalam arti hanya perbuatannya saja yang
beriman, tetapi ucapan dan hatinyatidak beriman., dapat
dilihat dari QS. An- Nisa, 4: 142:
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang munafik (beriman palsu) itu hendak menipu
mereka.Apabila mereka berdiri mengerjakan sembahyang, mereka berdiri dengam
malas , mereka ria (mengambil muka) kepada manusia dan tiada mengingat Allah
melainkan sedikit sekali”
3. Iman dalam arti yang ketiga adalah tashdiqun
bi al-qalb wa amalun bi al-jawatih, artinya keadaan
dimana pengakuan dengan lisan itu diiringi dengan pembenaran hati,dan mengerjakan
apa yang diimankannya dengan perbuatan anggota badan. Contohiman model ini
dapat dilihat dalam QS. Al- Hadid, 57:19.
وَالَّذِينَ
آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَٰئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ ۖ
Artinya :
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu adalah orang- orang yang Shiddiqien”.
Berdasarkan informasi ayat-ayat tersebut dapat
diketahui bahwa di dalam al-Qur’an kata iman digunakan untuk tiga
arti yaitu iman yang hanya sebatas pada ucapan, iman sebatas pada perbuatan, dan
iman yang mencakup ucapan. Perbuatan dan keyakinan dalam hati.
2.2
Dasar Keimanan
1. Iman kepada Allah:
Beriman kepada Allah artinya berikrar dengan macam macamnya tauhid yang
tiga serta beri’tiqad dan beramal dengannya, yaitu:
·
tauhid Rububiyah,
·
tauhid Uluhiyah, dan
·
tauhid Asma’ dan sifat.
Adapun tauhid Rububiyah adalah mentauhidkan
segala apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan
mematikan; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Tauhid Uluhiyah artinya mengesakan Allah
melalui segala pekerjaan hamba yang dengan itu mereka dapat mendekatkan diri
kepada Allah, apabila memang hal itu disyariatkan oleh-Nya seperti berdo’a,
takut, berharap, cinta, penyembelihan, nadzar,
istighatsah ( minta bantuan), minta perlindungan, shalat, puasa, haji,
berinfaq di jalan Allah dan segala apa saja yang disyariatkan dan diperintahkan
Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang
malaikat, nabi, wali, maupun yang lainnya.
Sedangkan makna tauhid Al Asma’ Wash-
shifat adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas
Dirinya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah dan
mensucikannya dari segala ‘aib dan kekurangan sebagaimana hal tersebut telah disucikan
oleh Alloh dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini tanpa melakukan tamtsil
(perumpamaan), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tahrif (penyelewengan ),
ta’thil ( penafian), dan tanpa takwil.
2. Iman kepada para Malaikat-Nya:
Yakni membenarkan adanya para malaikat, dan bahwasanya mereka itu adalah
makhluk dari sekian banyak makhluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah
menciptakan malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan
perintah-perintah-Nya di dunia ini.
3. Iman kepada Kitab- kitab-Nya:
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya
baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang
menurunkan Kitab-kitab itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia.
Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah mengimani bahwa Al Qur’an itu adalah kalam (firman)
Allah, dan dia bukanlah makhluk baik huruf maupun artinya. Berbeda dengan
pendapat golongan Jahmiah dan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur,an
adalah makhluk baik huruf maupun maknanya. Berbeda pula dengan pendapat
Asy’ariyah dan yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa kalam ( firman
Allah ) hanyalah artinya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah makhluk. Menurut
Ahlus Sunnah Wal Jamaah kedua pendapat tersrbut adalah bathil.
4. Iman kepada para Rasul:
Yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang Allah sebutkan nama mereka
maupun yang tidak, dari yang pertama sampai yang terakhir, dan penutup para
nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad r. Artinya pula, beriman kepada para rasul
seluruhnya dan beriman kepada nabi kita secara terperinci, serta mengimani
bahwasanya bahwa beliau adalah penutup para nabi dan para rasul dan tidak ada
nabi sesudahnya. Maka barang siapa yang keimanannya kepada para rasul tidak
demikian berarti dia telah kafir. Termasuk pula beriman kepada para rasul
adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka dan
harus berbeda dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang berlebih-lebihan terhadap
para rasul mereka, sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu
seperti memperlakukannya terhadap tuhan (Allah),
5. Iman kepada hari kiamat:
Yakni membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian dari
hal-hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya, baik tentang adzab dan nikmat
qubur, hari kebangkitan dari qubur,, hari berkumpulnya manusia di padang
mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangkannya segala amal perbuatan, dan
pemberian buku laporan amal dengan tangan kanan atau tangan kiri, tentang
jembatan ( shirath ), serta surga atau neraka, di samping itu keimanan untuk
bersiap sedia dengan amalan shaleh, dan meninggalkan amalan sayyiaat ( jahat )
serta bertaubat dari padanya. Dan sungguh telah mengingkari adanya hari
akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan
orang-orang Nashrani tidak mengimani hal ini dengan keimanan yang benar sesuai
dengan tuntunan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir.
6. Imam kepada Qadha dan Qadar yang baik maupun
yang buruk:
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi
dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam mahfudz; dan bahwasanya
segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, taat, maksiat, itu
telah dikehendaki, ditentukan, dan diciptakan-Nya, dan bahwasanya Allah itu
mencintai ketaatan dan membenci kamaksiatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan,
kehendak, dan kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang menghantar
mereka pada ketaatan atau kemaksiatan, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan
dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat golongan jabariah yang mengatakan
bahwa manusia terpaksa dengan pekerjan-pekerjaannya, tidak memiliki pilihan
atau kemampuan, sebaliknya golongan qadariyah mengatakan bahwasanya hamba itu
memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptakan
pekerjaan dirinya, kemauan dan kehendak itu terlepas dari kemauan dan kehendak
Allah.
2.3 Prinsip
Beriman
Prinsip pertama :
Iman itu perkataan, perbutan, dan keyakinan yang bisa
bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan, maka iman itu
bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan. sebab yang demikian
itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar
ma’rifah (pengetahuan) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian
itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran.
Prinsip kedua :
Tidak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin
kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun
perbuatan dosa besar selain kemusyrikan dan tidak ada dalil yang menghukumi
pelakunya sebagai kafir, misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku
(dosa tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi di hukumi fasiq dan imannya
tidak sempurna. Apabila ia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada
dalam kehendak Allah. Jika Ia berkehendak Ia akan mengampuninya dan jika Ia
berkehendak Ia akan mengazdabnya, namun sipelaku tidak kekal di neraka. Dan
madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam masalah ini di antara tengah-tengah
khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan
termasuk syirik, dan murjiah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai
mukmin sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu dosa
maksiat dengan adanya iman, sebagaimana tak berarti suatu perbuatan taat dengan
adanya kekafiran.
Prinsip ketiga :
Wajibnya taat kepada pemimpin kaum muslimin
selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat, apa bila mereka
memerintahkan berbuat maksiat di kala itulah kita dilarang untuk mentaatinya
namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya. Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah
memandang bahwa maksiat kepada seorang amir yang muslim itu merupakan maksiat
kepada Rasulullah r. Demikian pula Ahlus Sunnah Wal Jamaah memandang bolehnya
shalat dan berjihad di belakang para amir dan menasehati serta mendoakan mereka
untuk kebaikan dan keistiqomahan.
Prinsip keempat:
Haramnya keluar untuk memberontak terhadap
pimpinan kaum muslimin apabila melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal
tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah
r tentang wajibnya taat kepada mereka dalam hal-hal yang bukan maksiat dan
selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan
Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinam para imam pemimpin yang
melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur, dan mereka memandang
amalan tersebut sebagai amar ma’ruf nahi mungkar. Sedang pada kenyataannya
Mu’tazilah seperti ini merupakan kemungkaran yang besar karena menuntut adanya
bahaya bahaya yang besar baik berupa kericuan, keributan, dan kerawanan dari
pihak musuh.
Prinsip kelima :
Bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para
sahabat Rasuly. Berlainan dengan sikap dengan orang-orang ahlul bid’ah baik dari
kalangan Rafidhah maupun khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para
sahabat. Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah r adalah
Abu Bakar, kemudian, Umar bin Khatab, ‘Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
RA. Barang siapa yang mencela salah satu khalifah di antara mereka, maka dia
lebih sesat dari pada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma’ atas
kekhalifahan mereka dalan urutan seperti ini.
Prinsip keenam:
Mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat
Rasulullah r dalan sabdanya :
”
أذكركم الله في أهل بيتي “
“ Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan
ahli baitku “
Sedang yang termasuk ahli bait ( keluarga )
beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin. Pada pokoknya ahlul
bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi r dan yang dimaksudkan di sini
khususnya adalah yang shaleh di antara mereka. Sedang saudara-saudara dekat
yang tidak shaleh, seperti pamannya, Abu Lahab, maka mereka tidak memiliki hak.
Mereka sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul r tanpa
keshalehan dalam beragama ( Islam ) tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun
baginya. Dan saudara-saudara Rasulullah r yang shaleh tersebut
mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita
tidak boleh berlebih-lebihan dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada
mereka. Adapun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat
atau madlarat selain dari Allah adalah bathil,
Prinsip ketujuh :
Membenarkan adanya karomah para wali, yaitu
apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka berupa
hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut
telah ditunjukkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya
karomah-karomah tersebut di antaranya mu’tazilah dan Jahmiah, yang pada
hakekatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya. Akan tetapi kita harus
mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat
dalam masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa
yang sebenarnya bukan termasuk karomah, baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para
ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian
yang luar biasa lainnya itu jelas. Karomah adalah kejadian luar biasa
yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang shaleh, sedang sihir adalah
keluarbiasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir
dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengaruk harta-harta
mereka. Karomah bersumber pada kataatan, sedang sihir bersumber pada kekafiran
dan kemaksiatan.
Prinsip kedelapan :
Bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa
yang datang dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah r baik secara lahir
maupun batin dan mengikuti apa-apa yang di jalankan oleh para sahabat dari kaum
Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti
Al-Khulafaurrasyidin
Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak mendahulukan
perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah r. Oleh karena
itu mereka di namakan Ahlul Kitab was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al Qur’an
dan As Sunnah mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ‘ulama umat
ini. Inilah yang disebut dasar ketiga yang selalu dijadikan sandaran setelah
dua dasar yang pertama; yakni Al Qur’an dan As Sunnah. Segala hal yang
diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah.
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’suman
seseorang selain Rasulullah r dan mereka tidak berta’assub ( fanatik) pada
suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al Kitab dan
As Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam
ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali mereka yang telah
memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi. Perbedaan perbedaan di
antara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan
dan saling memutuskan hubungan di antara mereka, sebagaimana yang di lakukan
oleh orang-orang yang taassub ( fanatik ) dan ahli bid’ah. Sungguh mereka
tetap mentolerer perbedaan yang layak (wajar), bahkan mereka tetap saling
mencinta, berwali (berloyalitas ) satu sama yang lain; sebagian mereka tetap
shalat di belakang yang lain betapun ada perbedaan masalah far’I (cabang) di
antara mereka. Sedang ahli bid’ah memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat
kepada setiap orang, yang menyimpang dari golongan mereka.
2.4 Beriman dalam Pandangan Islam
Bagaimana tipe orang yang beriman
dalam pandangan Al- Qur’an, atau bagaimana seharusnya gambaran karakteristik
dari iman. Secara singkat, bagaimana seseorang beriman yang idealis diharapkan
bertingkah laku secara sosial dan relegius. Ini semua merupakan permasalahan
yang paling penting yang harus kita tanyakan mengenai iman, dan tidak hanya
secara umum tetapi juga dari sudut pandang kita yang spesifik, karena
jawaban-jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan isi sematik dari makna kata
iman (pecaya ) dan orang yang beriman dalam konteks Al-Qur’an. Mari kita mulai
dengan sebuah ayat di mana iman secara eksklusif dinilai dalam berbagai aspek
religiusnya. Ayat ini mempunyai relevasi khusus dengan penelitian kita, karena
memuat sebuah definisi verbal yang hampir sempurna mengenai orang beriman yang
sesungguhnya , seperti firman Allah dalam surat Al-Anfaal, ayat 2-4.
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan
sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang
beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat
ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia”. (QS, Al-Anfaal, 2-4).
Definisi verbal ini menggambarkan orang yang beriman dalam
pengertian kata yang benar sebagai orang yang benar-benar saleh, yang di dalam
hatinya selalu disebutkan asma Allah, dan ini cukup untuk membangkitkan rasa
khidmat yang mendalam, serta orang yang keseluruhan hidupnya ditentukan oleh
dorongan hatinya yang benar-benar mendalam. Kutipan berikut lebih menunjukkan
manifestasi luar dari kesalehan, seperti firman Allah dalam surat At-Taubah
ayat, 112.
التَّائِبُونَ
الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ
الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ
لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang
memuji, yang melawat yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan
gembirakanlah orang-orang mukmin itu” .
(QS, At-Taubah, 112).
Keyakinan yang sungguh-sungguh akan menghasilkan motif yang paling
kuat yang mendorong manusia untuk berbuat baik, jika tidak demikian maka
keyakinan itu belum sungguh-sungguh. Sikap yang mendasar, seperti perasaan
berdosa dan khidmat dihadapan Allah, patuh terhadap perintah Allah, rasa syukur
terhadap nikmat Allah, semua unsur inilah yang memberikan ciri keimanan islam
yang tertinggi, yang harus diwujudkan dalam perbuatan baik (salihat ) yang
telah diakui secara resmi. Selanjutnya, mereka harus menemukan ekspresi hampir
setiap tindakan dalam hubungan antar manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Hubungan dasar antara keyakinan dengan perbuatan baik ini, kemudian dalam
teologi menunjukkan makna penting yang tinggi ketika Murji’ h menganjurkan
pertanyaan itu dalam bentuk yang lebih keras denga menegaskan bahwa ’keyakinan’
merupakan perbuatan yang sangat independent, apapun dosa yang telah dilakukan
seseorang tidak mempengaruhi diri seseorang sebagai ‘orang beriman’yang
sebenarnya jika hanya kenyakinan yang ada.
Orang beriman yang sebenar-benarnya adalah sebagai berikut: Sikap
dasar hilm, mencurahkan ibadah secara konstan, takut pada hari kiamat,
memberikan zakat sebagai amal saleh yang paling penting, tanpa dengan mengarah
pada sifat kedermawanan jahiliyah yang sifatnya hanya menurutkan kata hati dan
sombong, menjauhi perbuatan jahil yang dilarang dengan tegas oleh Allah,
seperti politisme, membunuh mahluk hidup tanpa alasan yang benar, berbuat zina,
menghindari sumpah palsu dan omong kosong, perasaan yang tajam terhadap makna
terdalam dari wahyu, dan ketentraman serta kebahagian hidup di dunia ini,
berdasarkan harapan akan hari kemudian.
Kemudian dengan menerapkan prinsip-prinsip beriman
yang telah dikemukakan diatas, maka
keimanan akan teraplikasi dalam setiap sendi kehidupan kita dan akan muncullah
sifat-sifat yang agung sebagai pelengkap aqidah yang di imani atau diyakininya.
Di antara sifat-sifat yang agung itu adalah :
1. Mereka beramar ma’ruf
dan nahi mungkar atas dasar ilmu
2. Ahlus Sunnah Wal Jamaah
tetap menjaga tegaknya syi’ar Islam baik dengan menegakkan shalat jum’at dan
shalat berjamaah sebagai pembeda pembeda terhadap kalangan ahli bid’ah dan
orang-orang munafiq yang tidak mendirikan shalat Jum’at maupun shalat jamaah.
3. Memberikan nasehat bagi
setiap muslim, bekerja sama dan tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa
4. Mereka tegar balam
menhadapi ujian-ujian dengan sabar ketika mendapat cobaan dan bersyukur ketika
mendapatkan kenikmatan dan menerimanya sesuai dengan ketentuan Allah.
5. Bahwasanya mereka
selalu berakhlak mulia dan beramal baik, berbuat baik kepada orang tua,
menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka
senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzalim.
Mampir jg kak di http://cengcen.blogspot.com/2018/06/makalah-puasa-hukum-syarat-rukun.html
ReplyDeleteReferensi dari kitab taqrirotul sa'didah