Skip to main content

GOLONGAN SALAFIYAH DAN ALIRANNYA

GOLONGAN SALAFIYAH DAN ALIRANNYA


Pengertian Salafiyah

Salaf (bahasa Arab: السلف الصلح Salaf aṣ-Ṣāliḥ) adalah tiga generasi Muslim awal yaitu para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Yang kemudian dijadikan sebagai salah satu aliran dalam agama Islam yang mengajarkan syariat Islam secara murni tanpa adanya tambahan dan pengurangan, yaitu Salafiyah. Seseorang yang mengikuti aliran ini disebut Salafy (as-Salafy), jamaknya adalah Salafiyyun (as-Salafiyyun). Kemudian para Salafy beranggapan bahwa, jika seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa adanya ketetapan dari Allah dan rasul-Nya, bisa dikatakan sebagai perbuatan bid'ah. Salafi ialah setiap orang yang berada di atas manhaj Salaf dalam aqidah, akhlak, dan dakwah.

Pengertian Salafiyah bisa diartikan dalam artian menurut bahasa dan menurut istilah :

a)             Arti salafiyah menurut bahasa
Salafa Yaslufu Salfan artinya madla (telah berlalu). Dari arti tersebut kita dapati kalimat Al Qoum As Sallaaf yaitu orang – orang yang terdahulu. Salafur Rajuli artinya bapak moyangnya. Bentuk jamaknya Aslaaf dan Sullaaf.
Dari sini pula kalimat As Sulfah artinya makanan yang didahulukan oleh seorang sebelum ghadza` (makan siang). As salaf juga, yang mendahuimu dari kalangan bapak moyangmu serta kerabatmu yang usia dan kedudukannya di atas kamu. Bentuk tunggalnya adalah Saalif. Firman allah Ta’ala:
فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِّلْآخِرِينَ
...dan kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian. (Az Zukhruf :56)
Jadi dapat diartikan Salaf ( اَلسَّلَفُ ) itu Menurut bahasa (etimologi), artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.
b)       Arti salafiyah menurut istilah

Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”

Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya...”

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.”

2.2       Nama-nama lain dari Salafiyah
            Salafiyah mempunyai nama-nama lain, diantaranya:
·           Al-Jama’ah.
·           Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
·           Ahlul Hadits.
·           Ahlul Atsar
·           Jama’atul Muslimin.
·           Al-Fiqatun Najiyah
·           Ath-Tha-ifah al-Manshurah.
·           Ahlul Ittiba’.
·           Al-Ghurabaa’.

2.3     Perkembangan Salafiyah di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Menurut Abu Abdirrahman al-Thalibi, ide pembaruan Ibn ‘Abd al-Wahhab diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyah pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832. Tapi, Ja’far Umar Thalib mengklaim –dalam salah satu tulisannya- bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh Iskandar Muda (1603-1637).
Disamping itu, ide pembaruan ini secara relatif juga kemudian memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern yang lahir kemudian, seperti Muhammadiyah, PERSIS, dan Al-Irsyad. “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah” serta pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat kemudian menjadi semacam isu mendasar yang diusung oleh gerakan-gerakan ini. Meskipun satu hal yang patut dicatat bahwa nampaknya gerakan-gerakan ini tidak sepenuhnya mengambil apalagi menjalankan ide-ide yang dibawa oleh gerakan purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Apalagi dengan munculnya ide pembaruan lain yang datang belakangan, seperti ide liberalisasi Islam yang nyaris dapat dikatakan telah menempati posisinya di setiap gerakan tersebut.
Di tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Saya Merindukan Ukhuwah Imaniyah Islamiyah”, ia menceritakan kisahnya mengenal paham ini dengan mengatakan:
“Ketika saya belajar agama di Pakistan antara tahun 1986 s/d 1987, saya melihat betapa kaum muslimin di dunia ini tercerai berai dalam berbagai kelompok aliran pemahaman. Saya sedih dan sedih melihat kenyataan pahit ini. Ketika saya masuk ke medan jihad fi sabilillah di Afghanistan antara tahun tahun 1987 s/d 1989, saya melihat semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin dengan mengunggulkan pimpinan masing-masing serta menjatuhkan tokoh-tokoh lain…
Di tahun-tahun jihad fi sabilillah itu saya mulai berkenalan dengan para pemuda dari Yaman dan Surian yang kemudian mereka memperkenalkan kepada saya pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah. Saya mulai kenal dari mereka seorang tokoh dakwah Salafiyah bernama Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i…
Kepiluan di Afghanistan saya dapati tanda-tandanya semakin menggejala di Indonesia. Saya kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1989, dan padajanuari 1990 saya mulai berdakwah. Perjuangan dakwah yang saya serukan adalah dakwah Salafiyah…”
Ja’far Thalib sendiri kemudian mengakui bahwa ada banyak yang berubah dari pemikirannya, termasuk diantaranya sikap dan kekagumannya pada Sayyid Quthub, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin yang dahulu banyak ia lahap buku-bukunya. Perkenalannya dengan ide gerakan ini membalik kekaguman itu 180 derajat menjadi sikap kritis yang luar biasa –untuk tidak mengatakan sangat benci-.
Di samping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal Gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu Nida’ (Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah –majalah Gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia-, sebelum kemudian mereka berpecah beberapa tahun kemudian.
Adapun tokoh-tokoh luar Indonesia yang paling berpengaruh terhadap Gerakan Salafi Modern ini –di samping Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tentu saja- antara lain adalah:
a.         Ulama-ulama Saudi Arabia secara umum.
b.        Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albany di Yordania (w. 2001)
c.         Syekh Rabi al-Madkhaly di Madinah
d.        Syekh Muqbil al-Wadi’iy di Yaman (w. 2002).
Tentu ada tokoh-tokoh lain selain ketiganya, namun ketiga tokoh ini dapat dikatakan sebagai sumber inspirasi utama gerakan ini. Dan jika dikerucutkan lebih jauh, maka tokoh kedua dan ketiga secara lebih khusus banyak berperan dalam pembentukan karakter gerakan ini di Indonesia. Ide-ide yang berkembang di kalangan Salafi modern tidak jauh berputar dari arahan, ajaran dan fatwa kedua tokoh tersebut; Syekh Rabi’ al-Madkhaly dan Syekh Muqbil al-Wadi’iy. Kedua tokoh inilah yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap munculnya gerakan Salafi ekstrem, atau –meminjam istilah Abu Abdirrahman al-Thalibi- gerakan Salafi Yamani.
Perbedaan pandangan antara pelaku gerakan Salafi modern setidaknya mulai mengerucut sejak terjadinya Perang Teluk yang melibatkan Amerika dan Irak yang dianggap telah melakukan invasi ke Kuwait. Secara khusus lagi ketika Saudi Arabia “mengundang” pasukan Amerika Serikat untuk membuka pangkalan militernya di sana. Saat itu, para ulama dan du’at di Saudi –secara umum- kemudian berbeda pandangan: antara yang pro dengan kebijakan itu dan yang kontra. Sampai sejauh ini sebenarnya tidak ada masalah, karena mereka umumnya masih menganggap itu sebagai masalah ijtihadiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan tersebut. Namun berdasarkan informasi yang penulis dapatkan nampaknya ada pihak yang ingin mengail di air keruh dengan “membesar-besarkan” masalah ini. Secara khusus, beberapa sumber menyebutkan bahwa pihak Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia saat itu–yang selama ini dikenal sebagai pejabat yang tidak terlalu suka dengan gerakan dakwah yang ada- mempunyai andil dalam hal ini. Upaya inti yang dilakukan kemudian adalah mendiskreditkan mereka yang kontra sebagai khawarij, quthbiy (penganut paham Sayyid Quthb), sururi (penganut paham Muhammad Surur ibn Zain al-‘Abidin), dan yang semacamnya.
Momentum inilah yang kemudian mempertegas keberadaan dua pemahaman dalam gerakan Salafi modern –yang untuk mempermudah pembahasan oleh Abu ‘Abdirrahman al-Thalibi disebut sebagai-: Salafi Yamani dan Salafi Haraki. Dan sebagaimana fenomena gerakan lainnya, kedua pemahaman inipun terimpor masuk ke Indonesia dan memiliki pendukung.
2.4  Sejarah Salafiyah
Seorang Salafi memiliki cara pandang sejarah Islam yang berbeda dari orang-orang kebanyakan, bahkan dari orang-orang muslim sekali pun. Ini, sayangnya, sering kali tidak disadari oleh orang yang tahu tentang Salafi dan keberadaan mereka. Tulisan ini akan mengetengahkan sejarah awal perkembangan Islam dalam kacamata komunitas Salafi. Uraian dalam tulisan ini, jelas, adalah versi ringkas yang dapat dibawakan di sini. Seharusnya, tulisan ini dimaksud sebagai sebuah pengantar ringkas saja. Bagi komunitas Salafi, meski berkembang dari tengah-tengah masyarakat Arab, hal itu tidak menunjukkan bahwa Islam adalah Arab. Arab pun tidak berarti Islam. Allah subhana wa ta’ala menjadikan Jazirah Arab secara umum dan Makkah-Madinah secara khusus sebagai panggung tempat Islam mengukuhkan diri sebagai agama yang sempurna dan telah Allah restui.
Selain itu, hanya nilai-nilai yang telah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada sahabat-sahabatnya menjadi sesuatu yang baku sebagai acuan bagi para pemeluk yang datang setelah mereka. Halal dan haram, dalam kacamata seorang Salafi, telah ditetapkan dan terus berlaku sampai hari Kiamat nanti. Meski hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda, bagi mereka yang Salafi, seorang pemeluk Islam mesti menyesuaikan diri untuk mengikuti agama yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Penemuan-penemuan, terobosan-terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dicapai dan digunakan oleh siapa pun. Tetapi Islam yang harus dipeluk tetap Islam sebagaimana yang datang pada Rasulullah dan para sahabatnya.
Menurut seorang Salafi, hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya adalah orang-orang yang telah Allah ridhai dan puji dengan pujian yang abadi. Allah telah menjanjikan mereka dengan balasan yang baik. Baca dan renungkan ayat ke-100 surat At-Taubah—ayat ini adalah salah satu landasan pasti bagi seorang Salafi untuk berpegang teguh pada Islam yang dipraktekkan kaum Salaf.
Sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi Nabi, Makkah adalah satu kota kecil yang terpencil di Jazirah Arab. Pada waktu itu, keadaan politik, sosial, ekonomi, bahkan budaya setempat banyak dipengaruhi oleh dua kekuatan besar, Romawi dan Persia. Masyarakat Arab juga biasa memandang orang-orang Kristen dan Yahudi sebagai pewaris para Nabi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kitab-kitab suci atau ahlul kitab. Meski demikian, sebagian dari mereka pun menyadari bahwa tradisi yang dibawa oleh Nabi Ibrahim bukan seperti yang dipraktekkan orang-orang Kristen dan Yahudi itu. Agama Ibrahim adalah istilah yang dipakai untuk menyebut ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Orang-orang Arab percaya bahwa tradisi ini berbeda jauh dengan agama Kristen yang mengenal lembaga gereja dan trinitas. Mereka juga percaya bahwa agama Yahudi yang juga menganggap bahwa Uzair adalah anak Allah bukan agama Ibrahim itu.
Agama Ibrahim adalah agama tauhid yang lurus atau al-millah al-hanifiyyah. Dalam agama itu, hanya Allah ta’ala yang berhak untuk disembah. Karena itulah agama Ibrahim adalah agama monoteis yang masih murni. Akan tetapi, banyak orang menilai bahwa ajaran monoteisme seperti itu dimulai sejak Nabi Ibrahim menyampaikan risalahnya. Padahal, penilaian seperti ini tentu saja keliru. Ibrahim bukan rasul pertama yang menyerukan tauhid. Dalam perkembangan yang terjadi, keyakinan seperti itu banyak mendapat tentangan dari pelbagai pihak. Seiring dengan proses penyebaran agama monoteis yang meluas di muka bumi ini, bentuk-bentuk penentangan yang muncul tersebut lambat laun berubah menjadi upaya-upaya penyelarasan dan pencampuran atau sinkretisme antara ajaran Islam yang datang dari Allah-utusanAllah dan tradisi-tradisi setempat serta agama-agama yang telah mapan sebelum Islam datang. Meski sepintas sama, sejarah Nabi Muhammad bagi seorang Salafi berbeda dari sejarah Nabi Muhammad menurut Muhammad Haikal atau Karen Armstrong. Seorang Salafi memandang Nabi Muhammad sebagai seorang nabi dan rasul yang patut diteladani, bahkan difanatiki. Siapa pun dari kalangan manusia, tegas seorang Salafi, bisa ditinggalkan ucapan dan perbuatannya kecuali ucapan dan perbuatan Muhammad sang nabi.
Muhammad sendiri dilahirkan pada 570 M. Ia berasal dari salah satu keluarga terpandang di Makkah. Ayahnya adalah Abdullah, salah satu putra Abdul Muththalib. Mereka semua masih termasuk cucu-cucu keturunan Nabi Ismail ‘alaihis salam. Karena itu, mereka dihormati dan disegani oleh penduduk kota Makkah. Di Makkah, Muhammad menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya. Ayahnya meninggal dunia sebelum Muhammad lahir. Ibunya menyusul pula ketika Muhammad baru berusia enam tahun. Ia pun kemudian dibesarkan oleh kakeknya. Setelah kakeknya meninggal dunia, pengasuhannya diambil alih oleh pamannya, Abu Thalib. Pada umur 25 tahun, ia menikah dengan Khadijah, seorang wanita saudagar yang kaya di Makkah.
Pada umur 40 tahun, Muhammad mendapatkan wahyu dalam rupa lima ayat pertama surat Al-’Alaq. Lima ayat yang dibawa Jibril itu menandai pengangkatannya menjadi seorang Nabi. Tidak lama kemudian, Jibril turun membawa lima ayat lain, lima ayat pertama surat Al-Muddatstsir, yang menandai pengangkatan Muhammad menjadi seorang Rasul. Sejak saat itu, Muhammad menerima dan menyampaikan wahyu sampai kemudian meninggal dunia pada umur 63 tahun. Proses dakwah yang dijalaninya berlangsung dalam dua fase. Fase Makkah berlangsung selama tiga belas tahun, sedangkan fase Madinah berlangsung selama sepuluh tahun. Wahyu yang turun pun terbagi menjadi ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyah berdasarkan dua fase dakwah ini. Fase Makkah menekankan pengokohan dasar-dasar keimanan berupa akidah yang benar, sedangkan fase Madinah menjabarkan dasar-dasar keislaman berupa praktek-praktek ibadah dalam Islam secara lengkap. Dalam fase Makkah, Muhammad bersama beberapa gelintir pengikutnya menghadapi masa-masa sulit. Dalam waktu tiga belas tahun itu, mereka mengalami penyiksaan, pengucilan, dan pengejaran. Mereka tidak leluasa untuk menjalankan shalat dan mempelajari wahyu-wahyu yang turun. Dalam dua waktu yang berbeda, Rasulullah sempat mengutus dua delegasi untuk melakukan hijrah ke negeri Abessinia atau Habasyah, di Afrika.
Para pengikut pertama Muhammad disebut dengan Assabiqun Al-Awwalun. Kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang lemah, miskin, dan terpinggirkan dari kaum mereka. Hanya sedikit dari mereka yang berasal dari kaum terpandang, para pembesar masyarakat Makkah. Dalam keadaan seperti itu, mereka mendapatkan tawaran dari penduduk Yatsrib untuk hijrah ke sana. Yatsrib kemudian menjadi tempat tujuan Muhammad sang rasul dan para sahabatnya. Sejak saat itu, Yatsrib dikenal sebagai Madinah An-Nabi. Dalam fase Madinah, mereka dapat menjalankan praktek-praktek ibadah dengan leluasa. Perintah untuk shaum Ramadhan, zakat, dan berhaji turun di Madinah. Demikian pula dengan perintah-perintah lain yang mengatur pelbagai hal yang ada dalam hidup sehari-hari, mulai dari urusan-urusan pidana, aspek-aspek pemerintahan negara sampai etika buang air besar, diturunkan di sana. Wahyu turun sampai lengkap pada fase ini.
Pada dasarnya, bagi komunitas Salafi, dakwah yang disebarkan Muhammad adalah dakwah untuk bertauhid. Bertauhid adalah menjadikan Allah ta’ala sebagai satu-satunya sembahan yang berhak disembah dan meninggalkan segalam macam sembahan selain Allah. Karena itu, kalimat La ilaha illallah diartikan sebagai tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah, bukan tiada Tuhan selain Allah.
Tauhid itulah pula yang menjadi dasar dari semua praktek beragama yang diturunkan ke muka bumi ini. Bahkan, untuk mempertahankan tauhid ini, Allah memerintahkan Muhammad dan para sahabatnya untuk berperang dengan jiwa dan raga mereka. Mencermati itu, terbayang bahwa usaha yang dilakukan oleh Muhammad Rasulullah adalah usaha menghidupkan kembali ajaran yang hampir punah. Usaha itu dapat dikatakan sebagai usaha untuk memperbarui akidah yang Allah tetapkan untuk dipegang oleh umat manusia, dari awal penciptaan sampai akhir zaman kelak.
Akan tetapi, dalam kurun waktu 23 tahun, Islam menyebar hampir ke seluruh Jazirah Arab. Misi yang Allah embankan kepadanya telah tercapai dengan sempurna. Dan setiap Salafi mempercayai ini. Dengan ajakan untuk bertauhid dan meninggalkan kesyirikan, Muhammad sang nabi juga mengirimkan surat-surat ke beberapa penguasa di sekitar Jazirah Arab. Penguasa Romawi, Persia, Mesir adalah orang-orang yang pernah mendapatkan ajakan itu. Di antara mereka, ada yang menerima dan ada yang menolaknya. Sebelum meninggal dunia dalam umur 63 tahun, Muhammad telah meletakkan dasar-dasar penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Semua dasar-dasar yang dimaksud adalah penting untuk dipegang oleh siapa pun yang memeluk Islam sampai hari Kiamat nanti. Kalau kita bertanya kepada seorang Salafi, niscaya mereka akan mengamini semua itu.
Sampai di sini, kalau kita perhatikan dan bandingkan, pandangan sejarah komunitas Salafi hampir tidak ada beda dengan pandangan sejarah kelompok-kelompok teroris. Anehnya, banyak orang secara gegabah menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok pengebom Bali I-II, Ritz-Marriot, dan Al-Qaeda adalah Salafi itu sendiri. Padahal, tidak. Ada batas-batas tertentu yang memisahkan mereka dengan komunitas Salafi. Dan itu bisa dibuktikan lewat bukti pemikiran masing-masing mereka dan sejarah keberadaan mereka. Tulisan ini, sayangnya, tidak membicarakan pemikiran mereka yang berbeda itu.

International Crisis Group (ICG), agaknya, adalah lembaga penelitian yang berhasil menemukan perbedaan itu dan telah menuangkannya ke dalam tulisan ke khalayak publik. Ironisnya, ketepatan dan kejelian penemuan ICG itu sempat membuat Sidney Jones, direktur ICG wilayah Asia Tenggara, mendapat ancaman dari kelompok-kelompok teroris tersebut.

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian Positivisme

Pengertian Positivisme Pengertian Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Tokoh aliran ini adalah August Comte (1798-1857). Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya ekspe...

Code Gray, Seven Segment, dan ASCII

Code Gray, Seven Segment, dan ASCII 1. GRAY CODING ·          Gambaran umum Gray Code? Gray code merupakan cerminan dari binary code (kode biner), yang artinya angka terkhir pada string dapat sama dengan angka awal.tetap dalam urutan terbalik,sehingga dapat memungkinkan untuk membangun dan meningkatkan kegunaan dari kode biner standar atau natural. FRANK GRAY ,peneliti Bell labs,dimana nama belakangnya digunakan (Grey Code) ,mengembangkan sistem bilangan biner ini untuk membantu mengontrol electromechanical switch. Saat ini, Grey code digunakan untuk berbagai macam Environment, terutama pada komunikasi digital dimana sinyal analog perlu diubah menjadi media digital. ·          Apa itu Gray Code? Gray code merupakan bentuk biner yang menggunakan metode yang berbeda dari incrementing dari nomor satu ke berikutnya. Dengan gray code, hanya terdapat satu perubahan keadaan dari satu posisi ke po...

MAKALAH TENTANG PUASA

BAB I PENDAHULUAN A.     Latarbelakang Seperti yang kita ketahui agama islam mempunyai lima rukun islam yang salah satunya ialah puasa, yang mana puasa termasuk rukun islam yang keempat. Karena puasa itu termasuk rukun islam jadi, semua umat islam wajib melaksanakannya namun pada kenyataannya banyak umat islam yang tidak melaksanakannya, karena apa? Itu semua karena mereka tidak mengetahui manfaat dan hikmah puasa. Bahkan, umat muslim juga masih banyak yang tidak mengetahui pengertian puasa, dan bagaimana menjalankan puasa dengan baik dan benar. Banyak orang-orang yang melaksanakan puasa hanya sekedar melaksanakan, tanpa mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya, pada saat mereka berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar saja. Sangatlah rugi bagi kita jika sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala. Oleh karena itu dalam makalah ini saya akan membahas tentang apa itu puasa, tujuan, hikmah puasa dan lain...