GOLONGAN SALAFIYAH DAN ALIRANNYA
Pengertian Salafiyah
Salaf (bahasa Arab: السلف الصلح Salaf aṣ-Ṣāliḥ) adalah tiga generasi Muslim awal yaitu para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Yang kemudian dijadikan sebagai salah satu aliran dalam agama Islam yang mengajarkan syariat Islam secara murni tanpa adanya tambahan dan pengurangan, yaitu Salafiyah. Seseorang yang mengikuti aliran ini disebut Salafy (as-Salafy),
jamaknya adalah Salafiyyun (as-Salafiyyun). Kemudian para Salafy beranggapan bahwa,
jika seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa adanya ketetapan dari Allah dan rasul-Nya, bisa dikatakan sebagai perbuatan bid'ah. Salafi ialah setiap orang yang berada di atas manhaj
Salaf dalam aqidah, akhlak, dan dakwah.
Pengertian Salafiyah bisa diartikan dalam artian
menurut bahasa dan menurut istilah :
a)
Arti salafiyah
menurut bahasa
Salafa
Yaslufu Salfan artinya madla (telah berlalu). Dari arti tersebut
kita dapati kalimat Al Qoum As Sallaaf yaitu orang – orang yang
terdahulu. Salafur Rajuli artinya bapak moyangnya. Bentuk jamaknya Aslaaf
dan Sullaaf.
Dari sini
pula kalimat As Sulfah artinya makanan yang didahulukan oleh seorang
sebelum ghadza` (makan siang). As salaf juga, yang mendahuimu
dari kalangan bapak moyangmu serta kerabatmu yang usia dan kedudukannya di atas
kamu. Bentuk tunggalnya adalah Saalif. Firman allah Ta’ala:
فَجَعَلْنَاهُمْ
سَلَفًا وَمَثَلًا لِّلْآخِرِينَ
...dan kami
jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian. (Az
Zukhruf :56)
Jadi dapat
diartikan Salaf ( اَلسَّلَفُ ) itu Menurut bahasa (etimologi), artinya yang
terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.Salaf berarti para
pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua
orang tua yang telah mendahuluinya.
b)
Arti salafiyah
menurut istilah
Menurut istilah (terminologi), kata
Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri
dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada
tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu
masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang
sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”
Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi
pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti
petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah
memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan
menegak-kan agama-Nya...”
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan
juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat
dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta
berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut
Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan
seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem
hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang
wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada
orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum
sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang
menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib
menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.”
2.2 Nama-nama lain dari Salafiyah
Salafiyah mempunyai nama-nama lain, diantaranya:
Salafiyah mempunyai nama-nama lain, diantaranya:
·
Al-Jama’ah.
·
Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
·
Ahlul Hadits.
·
Ahlul Atsar
·
Jama’atul Muslimin.
·
Al-Fiqatun Najiyah
·
Ath-Tha-ifah al-Manshurah.
·
Ahlul Ittiba’.
·
Al-Ghurabaa’.
2.3 Perkembangan Salafiyah di
Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Salafi di
Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan
oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Menurut Abu
Abdirrahman al-Thalibi, ide pembaruan Ibn ‘Abd al-Wahhab diduga pertama kali
dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada
awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyah pertama di tanah air yang kemudian
lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah satu tokoh utamanya adalah
Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803
hingga sekitar 1832. Tapi, Ja’far Umar Thalib mengklaim –dalam salah satu
tulisannya- bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa
Sultan Aceh Iskandar Muda (1603-1637).
Disamping itu, ide pembaruan ini secara relatif juga
kemudian memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern yang lahir
kemudian, seperti Muhammadiyah, PERSIS, dan Al-Irsyad. “Kembali kepada al-Quran
dan al-Sunnah” serta pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat kemudian
menjadi semacam isu mendasar yang diusung oleh gerakan-gerakan ini. Meskipun
satu hal yang patut dicatat bahwa nampaknya gerakan-gerakan ini tidak
sepenuhnya mengambil apalagi menjalankan ide-ide yang dibawa oleh gerakan
purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Apalagi dengan munculnya ide pembaruan
lain yang datang belakangan, seperti ide liberalisasi Islam yang nyaris dapat
dikatakan telah menempati posisinya di setiap gerakan tersebut.
Di tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan
kembali kepada Islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan
sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia. Adalah Ja’far
Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini. Dalam salah
satu tulisannya yang berjudul “Saya Merindukan Ukhuwah Imaniyah Islamiyah”, ia
menceritakan kisahnya mengenal paham ini dengan mengatakan:
“Ketika saya belajar agama di Pakistan antara tahun
1986 s/d 1987, saya melihat betapa kaum muslimin di dunia ini tercerai berai
dalam berbagai kelompok aliran pemahaman. Saya sedih dan sedih melihat
kenyataan pahit ini. Ketika saya masuk ke medan jihad fi sabilillah di
Afghanistan antara tahun tahun 1987 s/d 1989, saya melihat semangat perpecahan
di kalangan kaum muslimin dengan mengunggulkan pimpinan masing-masing serta
menjatuhkan tokoh-tokoh lain…
Di tahun-tahun jihad fi sabilillah itu saya mulai
berkenalan dengan para pemuda dari Yaman dan Surian yang kemudian mereka
memperkenalkan kepada saya pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Saya mulai kenal dari mereka seorang tokoh dakwah Salafiyah bernama Al-‘Allamah
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i…
Kepiluan di Afghanistan saya dapati tanda-tandanya
semakin menggejala di Indonesia. Saya kembali ke Indonesia pada akhir tahun
1989, dan padajanuari 1990 saya mulai berdakwah. Perjuangan dakwah yang saya
serukan adalah dakwah Salafiyah…”
Ja’far Thalib sendiri kemudian mengakui bahwa ada
banyak yang berubah dari pemikirannya, termasuk diantaranya sikap dan
kekagumannya pada Sayyid Quthub, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin yang
dahulu banyak ia lahap buku-bukunya. Perkenalannya dengan ide gerakan ini
membalik kekaguman itu 180 derajat menjadi sikap kritis yang luar biasa –untuk
tidak mengatakan sangat benci-.
Di samping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain
yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal Gerakan Salafi Modern di Indonesia,
seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta),
Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu Nida’
(Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi
Majalah As-Sunnah –majalah Gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia-, sebelum
kemudian mereka berpecah beberapa tahun kemudian.
Adapun tokoh-tokoh luar Indonesia yang paling
berpengaruh terhadap Gerakan Salafi Modern ini –di samping Muhammad ibn ‘Abd
al-Wahhab tentu saja- antara lain adalah:
a.
Ulama-ulama Saudi Arabia secara
umum.
b.
Syekh Muhammad Nashir al-Din
al-Albany di Yordania (w. 2001)
c.
Syekh Rabi al-Madkhaly di Madinah
d.
Syekh Muqbil al-Wadi’iy di Yaman (w.
2002).
Tentu ada tokoh-tokoh lain selain ketiganya, namun
ketiga tokoh ini dapat dikatakan sebagai sumber inspirasi utama gerakan ini. Dan
jika dikerucutkan lebih jauh, maka tokoh kedua dan ketiga secara lebih khusus
banyak berperan dalam pembentukan karakter gerakan ini di Indonesia. Ide-ide
yang berkembang di kalangan Salafi modern tidak jauh berputar dari arahan,
ajaran dan fatwa kedua tokoh tersebut; Syekh Rabi’ al-Madkhaly dan Syekh Muqbil
al-Wadi’iy. Kedua tokoh inilah yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap
munculnya gerakan Salafi ekstrem, atau –meminjam istilah Abu Abdirrahman al-Thalibi-
gerakan Salafi Yamani.
Perbedaan pandangan antara pelaku gerakan Salafi
modern setidaknya mulai mengerucut sejak terjadinya Perang Teluk yang
melibatkan Amerika dan Irak yang dianggap telah melakukan invasi ke Kuwait.
Secara khusus lagi ketika Saudi Arabia “mengundang” pasukan Amerika Serikat
untuk membuka pangkalan militernya di sana. Saat itu, para ulama dan du’at di
Saudi –secara umum- kemudian berbeda pandangan: antara yang pro dengan kebijakan
itu dan yang kontra. Sampai
sejauh ini sebenarnya tidak ada masalah, karena mereka umumnya masih menganggap
itu sebagai masalah ijtihadiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan
tersebut. Namun berdasarkan informasi yang penulis dapatkan nampaknya ada pihak
yang ingin mengail di air keruh dengan “membesar-besarkan” masalah ini. Secara
khusus, beberapa sumber menyebutkan bahwa pihak Menteri Dalam Negeri Saudi
Arabia saat itu–yang selama ini dikenal sebagai pejabat yang tidak terlalu suka
dengan gerakan dakwah yang ada- mempunyai andil dalam hal ini. Upaya inti yang
dilakukan kemudian adalah mendiskreditkan mereka yang kontra sebagai khawarij,
quthbiy (penganut paham Sayyid Quthb), sururi (penganut paham Muhammad Surur
ibn Zain al-‘Abidin), dan yang semacamnya.
Momentum inilah yang kemudian mempertegas keberadaan
dua pemahaman dalam gerakan Salafi modern –yang untuk mempermudah pembahasan
oleh Abu ‘Abdirrahman al-Thalibi disebut sebagai-: Salafi Yamani dan Salafi
Haraki. Dan sebagaimana fenomena gerakan lainnya, kedua pemahaman inipun
terimpor masuk ke Indonesia dan memiliki pendukung.
2.4 Sejarah
Salafiyah
Seorang Salafi memiliki cara pandang sejarah Islam
yang berbeda dari orang-orang kebanyakan, bahkan dari orang-orang muslim sekali
pun. Ini, sayangnya, sering kali tidak disadari oleh orang yang tahu tentang
Salafi dan keberadaan mereka. Tulisan ini
akan mengetengahkan sejarah awal perkembangan Islam dalam kacamata komunitas
Salafi. Uraian dalam tulisan ini, jelas, adalah versi ringkas yang dapat
dibawakan di sini. Seharusnya, tulisan ini dimaksud sebagai sebuah pengantar
ringkas saja. Bagi komunitas Salafi, meski berkembang dari tengah-tengah
masyarakat Arab, hal itu tidak menunjukkan bahwa Islam adalah Arab. Arab pun
tidak berarti Islam. Allah subhana wa ta’ala menjadikan Jazirah Arab secara
umum dan Makkah-Madinah secara khusus sebagai panggung tempat Islam mengukuhkan
diri sebagai agama yang sempurna dan telah Allah restui.
Selain itu, hanya nilai-nilai yang telah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada sahabat-sahabatnya menjadi sesuatu
yang baku sebagai acuan bagi para pemeluk yang datang setelah mereka. Halal dan
haram, dalam kacamata seorang Salafi, telah ditetapkan dan terus berlaku sampai
hari Kiamat nanti. Meski hidup
dalam ruang dan waktu yang berbeda, bagi mereka yang Salafi, seorang pemeluk
Islam mesti menyesuaikan diri untuk mengikuti agama yang telah dipraktekkan
oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Penemuan-penemuan, terobosan-terobosan
ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dicapai dan digunakan oleh siapa pun.
Tetapi Islam yang harus dipeluk tetap Islam sebagaimana yang datang pada
Rasulullah dan para sahabatnya.
Menurut seorang Salafi, hal itu disebabkan oleh
kenyataan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya adalah orang-orang yang telah
Allah ridhai dan puji dengan pujian yang abadi. Allah telah menjanjikan mereka
dengan balasan yang baik. Baca dan renungkan ayat ke-100 surat At-Taubah—ayat
ini adalah salah satu landasan pasti bagi seorang Salafi untuk berpegang teguh
pada Islam yang dipraktekkan kaum Salaf.
Sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
diangkat menjadi Nabi, Makkah adalah satu kota kecil yang terpencil di Jazirah
Arab. Pada waktu itu, keadaan politik, sosial, ekonomi, bahkan budaya setempat
banyak dipengaruhi oleh dua kekuatan besar, Romawi dan Persia. Masyarakat Arab
juga biasa memandang orang-orang Kristen dan Yahudi sebagai pewaris para Nabi.
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki
kitab-kitab suci atau ahlul kitab. Meski
demikian, sebagian dari mereka pun menyadari bahwa tradisi yang dibawa oleh
Nabi Ibrahim bukan seperti yang dipraktekkan orang-orang Kristen dan Yahudi
itu. Agama Ibrahim adalah istilah yang dipakai untuk menyebut ajaran yang
dibawa oleh Nabi Ibrahim. Orang-orang Arab percaya bahwa tradisi ini berbeda
jauh dengan agama Kristen yang mengenal lembaga gereja dan trinitas. Mereka
juga percaya bahwa agama Yahudi yang juga menganggap bahwa Uzair adalah anak
Allah bukan agama Ibrahim itu.
Agama Ibrahim adalah agama tauhid yang lurus atau
al-millah al-hanifiyyah. Dalam agama itu, hanya Allah ta’ala yang berhak untuk
disembah. Karena itulah agama Ibrahim adalah agama monoteis yang masih murni.
Akan tetapi, banyak orang menilai bahwa ajaran monoteisme seperti itu dimulai
sejak Nabi Ibrahim menyampaikan risalahnya. Padahal, penilaian seperti ini
tentu saja keliru. Ibrahim bukan rasul pertama yang menyerukan tauhid. Dalam
perkembangan yang terjadi, keyakinan seperti itu banyak mendapat tentangan dari
pelbagai pihak. Seiring dengan proses penyebaran agama monoteis yang meluas di
muka bumi ini, bentuk-bentuk penentangan yang muncul tersebut lambat laun
berubah menjadi upaya-upaya penyelarasan dan pencampuran atau sinkretisme
antara ajaran Islam yang datang dari Allah-utusanAllah dan tradisi-tradisi
setempat serta agama-agama yang telah mapan sebelum Islam datang. Meski sepintas
sama, sejarah Nabi Muhammad bagi seorang Salafi berbeda dari sejarah Nabi
Muhammad menurut Muhammad Haikal atau Karen Armstrong. Seorang Salafi memandang
Nabi Muhammad sebagai seorang nabi dan rasul yang patut diteladani, bahkan
difanatiki. Siapa pun dari kalangan manusia, tegas seorang Salafi, bisa
ditinggalkan ucapan dan perbuatannya kecuali ucapan dan perbuatan Muhammad sang
nabi.
Muhammad sendiri dilahirkan pada 570 M. Ia berasal
dari salah satu keluarga terpandang di Makkah. Ayahnya adalah Abdullah, salah
satu putra Abdul Muththalib. Mereka semua masih termasuk cucu-cucu keturunan
Nabi Ismail ‘alaihis salam. Karena itu, mereka dihormati dan disegani oleh
penduduk kota Makkah. Di Makkah,
Muhammad menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya. Ayahnya meninggal dunia
sebelum Muhammad lahir. Ibunya menyusul pula ketika Muhammad baru berusia enam
tahun. Ia pun kemudian dibesarkan oleh kakeknya. Setelah kakeknya meninggal
dunia, pengasuhannya diambil alih oleh pamannya, Abu Thalib. Pada umur 25
tahun, ia menikah dengan Khadijah, seorang wanita saudagar yang kaya di Makkah.
Pada umur 40 tahun, Muhammad mendapatkan wahyu dalam
rupa lima ayat pertama surat Al-’Alaq. Lima ayat yang dibawa Jibril itu
menandai pengangkatannya menjadi seorang Nabi. Tidak lama kemudian, Jibril
turun membawa lima ayat lain, lima ayat pertama surat Al-Muddatstsir, yang
menandai pengangkatan Muhammad menjadi seorang Rasul. Sejak saat itu, Muhammad
menerima dan menyampaikan wahyu sampai kemudian meninggal dunia pada umur 63
tahun. Proses
dakwah yang dijalaninya berlangsung dalam dua fase. Fase Makkah berlangsung
selama tiga belas tahun, sedangkan fase Madinah berlangsung selama sepuluh
tahun. Wahyu yang turun pun terbagi menjadi ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat
Madaniyah berdasarkan dua fase dakwah ini. Fase Makkah menekankan pengokohan
dasar-dasar keimanan berupa akidah yang benar, sedangkan fase Madinah
menjabarkan dasar-dasar keislaman berupa praktek-praktek ibadah dalam Islam
secara lengkap. Dalam fase Makkah, Muhammad bersama beberapa gelintir
pengikutnya menghadapi masa-masa sulit. Dalam waktu tiga belas tahun itu,
mereka mengalami penyiksaan, pengucilan, dan pengejaran. Mereka tidak leluasa
untuk menjalankan shalat dan mempelajari wahyu-wahyu yang turun. Dalam dua
waktu yang berbeda, Rasulullah sempat mengutus dua delegasi untuk melakukan
hijrah ke negeri Abessinia atau Habasyah, di Afrika.
Para pengikut pertama Muhammad disebut dengan
Assabiqun Al-Awwalun. Kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang lemah, miskin,
dan terpinggirkan dari kaum mereka. Hanya sedikit dari mereka yang berasal dari
kaum terpandang, para pembesar masyarakat Makkah. Dalam keadaan seperti itu,
mereka mendapatkan tawaran dari penduduk Yatsrib untuk hijrah ke sana. Yatsrib
kemudian menjadi tempat tujuan Muhammad sang rasul dan para sahabatnya. Sejak
saat itu, Yatsrib dikenal sebagai Madinah An-Nabi. Dalam fase
Madinah, mereka dapat menjalankan praktek-praktek ibadah dengan leluasa.
Perintah untuk shaum Ramadhan, zakat, dan berhaji turun di Madinah. Demikian
pula dengan perintah-perintah lain yang mengatur pelbagai hal yang ada dalam
hidup sehari-hari, mulai dari urusan-urusan pidana, aspek-aspek pemerintahan
negara sampai etika buang air besar, diturunkan di sana. Wahyu turun sampai
lengkap pada fase ini.
Pada dasarnya, bagi komunitas Salafi, dakwah yang
disebarkan Muhammad adalah dakwah untuk bertauhid. Bertauhid adalah menjadikan
Allah ta’ala sebagai satu-satunya sembahan yang berhak disembah dan
meninggalkan segalam macam sembahan selain Allah. Karena itu, kalimat La ilaha
illallah diartikan sebagai tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah,
bukan tiada Tuhan selain Allah.
Tauhid itulah pula yang menjadi dasar dari semua
praktek beragama yang diturunkan ke muka bumi ini. Bahkan, untuk mempertahankan
tauhid ini, Allah memerintahkan Muhammad dan para sahabatnya untuk berperang
dengan jiwa dan raga mereka. Mencermati
itu, terbayang bahwa usaha yang dilakukan oleh Muhammad Rasulullah adalah usaha
menghidupkan kembali ajaran yang hampir punah. Usaha itu dapat dikatakan
sebagai usaha untuk memperbarui akidah yang Allah tetapkan untuk dipegang oleh
umat manusia, dari awal penciptaan sampai akhir zaman kelak.
Akan tetapi, dalam kurun waktu 23 tahun, Islam
menyebar hampir ke seluruh Jazirah Arab. Misi yang Allah embankan kepadanya
telah tercapai dengan sempurna. Dan setiap Salafi mempercayai ini. Dengan
ajakan untuk bertauhid dan meninggalkan kesyirikan, Muhammad sang nabi juga
mengirimkan surat-surat ke beberapa penguasa di sekitar Jazirah Arab. Penguasa
Romawi, Persia, Mesir adalah orang-orang yang pernah mendapatkan ajakan itu. Di
antara mereka, ada yang menerima dan ada yang menolaknya. Sebelum
meninggal dunia dalam umur 63 tahun, Muhammad telah meletakkan dasar-dasar
penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Semua dasar-dasar yang
dimaksud adalah penting untuk dipegang oleh siapa pun yang memeluk Islam sampai
hari Kiamat nanti. Kalau kita bertanya kepada seorang Salafi, niscaya mereka
akan mengamini semua itu.
Sampai di sini, kalau kita perhatikan dan bandingkan,
pandangan sejarah komunitas Salafi hampir tidak ada beda dengan pandangan
sejarah kelompok-kelompok teroris. Anehnya, banyak orang secara gegabah
menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok pengebom Bali I-II, Ritz-Marriot, dan
Al-Qaeda adalah Salafi itu sendiri. Padahal, tidak. Ada
batas-batas tertentu yang memisahkan mereka dengan komunitas Salafi. Dan itu
bisa dibuktikan lewat bukti pemikiran masing-masing mereka dan sejarah
keberadaan mereka. Tulisan ini, sayangnya, tidak membicarakan pemikiran mereka
yang berbeda itu.
International Crisis Group (ICG), agaknya, adalah
lembaga penelitian yang berhasil menemukan perbedaan itu dan telah
menuangkannya ke dalam tulisan ke khalayak publik. Ironisnya, ketepatan dan
kejelian penemuan ICG itu sempat membuat Sidney Jones, direktur ICG wilayah
Asia Tenggara, mendapat ancaman dari kelompok-kelompok teroris tersebut.
Comments
Post a Comment