MAKALAH
ILMU KALAM
PEMIKIRAN KALAM DI
KALANGAN ULAMA ZAMAN MODERN
(Timur tengah , India ,
Pakistan,Mesir , dan Asia Tenggara)
DI
S
U
S
U
N
OLEH :
Vivi
Sriandrita
Sri
Rahmadani
Syafroni
Megi
Suprapto
JURUSAN
TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAS SYARIF KASIM RIAU
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam
Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, ilmu kalam (`ilm al-kalâm) termasuk
kajian yang pokok dan sentral. Ilmu ini termasuk rumpun ilmu ushuluddin
(dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu
kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai
batas-batas tertentu "mendominasi" arah, corak, muatan materi dan
metodologi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fikih, (al-ahwal
al-syakhsyiyah, perbandingan mazdhab, jinayah-siyasah), ushul fiqh, filsafah
(Islam), ulum al-tafsir, ulum al-hadist, teori dan praktik dakwah dan
pendidikan Islam, bahkan sampai merembet pada persoalan-persoalan yang terkait
dengan pemikiran ekonomi dan politik Islam.
Sering kali
dijumpai bahwa umat Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai
kelompok, mengalami kesulitan keagamaan -untuk tidak mengatakan tidak
siap-ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini.
Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya tidak cukup kokoh menyediakan
seperangkat teori dan metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang
agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan
penganut agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan
politik.
B.
Rumusan
Masalah
1. Siapa saja tokoh
pemikir ilmu kalam modern
2.
Bagaimanakah riwayat perjalanan hidup nya ???
3. Bagaimanakah
pemikiran-pemikiran para tokoh ilmu kalam modern?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :
1. Mengetahui
siapa saja tokoh pemikir dalam ilmu kalam modern.
2. Memahami
bagaimana pemikiran para tokoh-tokoh ilmu kalam tersebut.
II
PEMBAHASAN
A.
Muhammad Bin
Abdul Wahab
1. Riwayat
Singkat Wahabi
Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan
pada tahun 1115 di kota Uyinah bagian dari kota Najad. Semasa belajar di
Madinah para gurunya merasa khawatir akan masa depan muridnya itu, karena
terkadang pernyataan-pernyataan ekstrim dan keliru terucap dari lisannya,
sampai-sampai mereka berkata, :“ jika Muhammad bin Abdul Wahab pergi
bertabliqh, pasti ia akan menyesatkan sebagian masyarakat.”
Selagi ayahnya masih hidup, Muhammad
bin abdul Wahab adalah tipe seorang yang pendiam, tetapi setelah wafat ayahnya
pada tahun 1153, tirai yang menghalangi keyakinannya terkuak.
Dua aspek yang membantu penyebaran
dakwah Muhammad bin Abdul Wahab ditengah-tengah masyarakat arab Baduy Najad
yaitu:
1. Mendukung
sistem politik keluarga Su’ud.
2. Menjauhkan
masyarakat Najad dari peradaban, ilmu pengetahuan dan keotentikan ajaran Islam.
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
dengan slogannya pemurnian tauhid dan perlawanan kepada syirik secara
pelan-pelan mengalami perkembangan bahkan berhasil menarik perhatian orang yang
jauh dari najad seperti Amir Muhammad bin Ismail San’ani (1099-1186) penulis
buku “Subulussalam” dalam
syarahnya (Bulughul murom) yang
menerima dan mengikuti ajarannya.
2. Pemikiran
dalam Aliran Wahabi
Paham wahabi
dengan pondasi pemikiran Salafi menentang seluruh bentuk perubahan dalam
kehidupan umat manusia. Ketika Abdul Aziz bin Abdurrahman pada tahun 1344 Q
menjadi penguasa dua haram yang suci (mekkah al mukarramah dan madinah al
munawwarah), terpaksa harus membangung dan mengatur system pemerintahannya
sesuai dengan model pemerintahan pada umumnya ketika itu dan merubah pola
kehidupan wahabi yang sesuai dengan kebiasaan arab Baduy-Najad.
Dan ia
menyetujui mengimpor produk teknologi modern ketika itu seperti telegraf,
telephon, sepeda, mobil dan lain-lain. Dan sikapnya ini membakar api kemarahan
para pengikutnya yang muta’shib, menyebabkan terjadinya kejadian tragedi
berdarah yang terkenal dalam sejarah sebagai peristiwa “berdarah Akhwan”.
Ahmad Amin,
penulis asal Mesir, ketika membahas tentang kelompok Wahabi, mengatakan bahwa
pemikiran wahabi sekarang yang berkembang ini pada hakikatnya 100 persen
bertolak belakang dengan pemikiran wahabi di masa lalu. Ahmad Amin menulis: “Wahabi
menolak peradaban baru dan tuntutan peradaban baru dan modern, mayoritas di
antara mereka meyakini bahwa hanya Negaranyalah sebagai negara islam sementara
Negara-negara lain bukan Negara islam karena negara-negara tersebut telah
menciptakan bid’ah bahkan menyebarluaskannya dan wajib bagi mereka memerangi
Negara tersebut.
Semasa Ibn
Sa’ud berkuasa, ia menghadapi dua kekuatan besar dan tidak jalan lain kecuali
harus memilih salah satunya yaitu pertama, pemuka-pemuka agama yang
tinggal di Najad memiliki akar pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang menolak
dengan keras segala bentuk perubahan dan peradaban baru. Kedua; arus
peradaban baru yang dalam system pemerintahn sangat membutuhakn alat tekhnoligi
modern tersebut.
Pemerintahan,
mengambil jalan tengah dari kedua kekuatan tersebut dengan cara mengakui
Negara-negara islam yang lain sebagai negara Islam dan juga di samping
menggiatkan pengajaran agama mereka juga memberikan pengajaran peradaban modern
dan mengatur sistem pemerintahannya berdasarkan sistem pemerintahan modern.
Untungnya para pemimpin Negara Saudi telah lelah melayani cara berpikir dan
aturan-aturan kering dan kaku pemikiran wahabi yang menjauhkan kaum muslimin
dari sunnah dan warisan sejarah yang diyakini seluruh kaum muslimin dan
menghancurkan tampat-tempat suci mereka juga menafikan seluruh bentuk penemuan
baru dan menganggapnya sebagai bidah.
B. SYEKH MUHAMMAD ABDUH
1. Riwayat Singkat Syekh Muhammad Abduh
Syekh
Muhammad Abduh, nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau
lahir di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah (Mesir) pada tahun 1849 M.
Beliau bukan berasal dari keturunan yang kaya dan bukan pula keturunan
bangsawan. Namun demikian, ayah beliau di kenal sebagai orang terhormat yang
suka member pertolongan.
Mula-mula
Abduh dikirim ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tantabelakangan tempat ini menjadi
pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namun sistem pengajaran disana sangat
menjengkelkannya sehingga setelah 2 tahun disana, beliau memutuskan untuk
kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kerabatnya. Ketika
kembali ke desa, beliau dikawinkan. Pada saat itu beliau berumur 16 tahun,
semula beliau bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi beliau
kembali belajar atas dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mempengaruhi
kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani.
Atas jasanya itu, Abduh berkata “ …
Ia telah membebaskan ku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbing ku menuju ilmu pengetahuan
…”
Setelah menyelesaikan studinya di
bawah bimbingan pamannya, Abduh melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan
Februari 1866. Tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani tiba di Mesir. Ketika itu
Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar menyambut kedatangannya. Beliau selalu
menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya dan beliau pun menjadi murid
kesayangan Al-Afghani. Al-Afghani pulalah yang mendorong Abduh aktif menulis
dalam bidang social dan politik. Artikel-artikel pembaharuanya banyak dimuat
pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.
Setelah menyelesaikan studinya di
Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim,
Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan di rumahnya sendiri.
Ketika Al-Afghani di usir dari Mesir pada tahun 1879 karena di tuduh mengadakan
gerakan perlawanan terhadap Khedewi Taufiq, Abduh juga di tuduh ikut campur
didalamnya. Ia di buang ke luar dari kota Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia
diperbolehkan kembali ke ibukota, kemudian diangkat menjadi redaktur surat
kabar resmi pemerintahan Mesir Al-Waqa’I
Al-Mishriyyah.
Pada waktu
itu kesadaran nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan Abduh, surat
kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di
samping berita-berita resmi.
Setelah
revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh, ketika itu masih
memimpin surat kabar Al-waqa’i,
dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah Mesir
memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberikan hak
kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih Suriah. Di
Negeri ini, beliau menetap selama setahun. Kemudian beliau menyusul gurunya
Al-Afghani yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan majalah al-Urwah al-Wusqa) pada tahun
1884.
Karya-karyanya
yang di buat di surat kabar banyak menghendaki kebebasan berfikir dan modern.
Pendapatnya mulai mengarah juga kepada para fukaha yang masih memperselihkan
masalah furuiyyah. Yang bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan
Barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke
Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat
Mesir. Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu
dipegangnya sampai beliau menginggal dunia pada tahun 1905.
2. Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh
a. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi
fokus utama pemikiran Abduh, sebagai mana diakuinya sendiri, yaitu:
·
Membebaskan
akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid
yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3
Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber
pokoknya, Al-Quran.
·
Memperbaiki
gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor
pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Dua
persoalan pokok itu muncul ketika beliau meratapi perkembangan umat Islam pada
masanya. Sebagaimana di jelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat Islam saat itu
dapat di gambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup
rapat-rapat pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at
Allah atau meng-istinbat-kan
hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para
pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar
kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar
kepada akal. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut :
·
Tuhan dan
sifat-sifat-Nya;
·
Keberadaan
hidup di akhirat;
·
Kebahagiaan
jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik,
sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan
melakukan perbuatan jahat;
·
Kewajiban
manusia mengenal Tuhan;
·
Kewajiban
manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di
akhirat;
·
Hukum-hukum
mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Abduh berpendapat bahwa antara akal
dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat disesuaikan. Kalau antara
wahyu dan akal bertentang maka ada dua kemungkinan .
·
Wahyu sudah
diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan akal;
·
Kesalahan
dalam menggunakan penalaran.
Pemikiran
semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa islam adalah agama yang
umatnya bebas berfikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan
dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah
dimiliki oleh bangsa barat saat itu, dimana dengan ilmu pengetahuan mereka
menjadi kreatif, dinamis dalam hidupnya.
Dengan
memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dan dapat
di ketahui pula sebagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah
penolong (al-mu’in). Kata ini ia
pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu, katanya
menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat,
mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya,
menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan
mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian,
wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan
menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
b. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh,
di samping mempunyai daya piker, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang
merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini
di hilangkan dari dirinya , ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia
dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya,
kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya
mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
c. Sifat-sifat Tuhan
Dalam
risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat
itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak
diluar kemampuan manusia. Dengan demikian Nasution melihat bahwa Abduh
cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak
secara tegas mengatakannya.
d. Kehendak Mutlah Tuhan
Karena yakin
akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat
mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlah-Nya dengan member kebebasan dan
kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatanya.
Kehendak
mutlah Tuhan pun dibatasi oleh sunnahtullah
secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnahtullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti
bahwa tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah telah membatasi kehendak-Nya
dengan sunnahtullah yang
diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.
e. Keadilan Tuhan
Karena
memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai
kecenderungan untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya dari segi
kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia.
Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak
satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa mamfaat bagi manusia.
f. Antropomorfisme
Karena Tuhan
termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal,
berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk
tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan
sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab
kepadanya.
g. Melihat Tuhan
Muhammad
Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat
dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia hanya
menyebutkan bahwa orang yang pecaya pada tanzih
(keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat
menyatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan
kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang
tertentu di akhirat.
h. Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang
wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan
untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.
C. MUHAMMAD
IQBAL
1. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad
Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur
Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri
kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab
untuk mempelajari Al-Qur’an.
Setelah itu,
beliau dimasukkan Scottish Mission School.
Di bawah bimbingan Mir Hasan, beliau diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan
bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, belaiu pergi ke
Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College, Di situ ia bertemu
dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang
filsafat pada universitas tersebut.
Ketika
belajar di kota India, Beliau menawarkan beberapa konsep pemikiran seperti,
perlunya pengembangan ijtihad dan dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul sebagai
bentuk ketidak sepakatnya terhadap perkembangan dunia Islam hampir enam abad
terakhir. Posisi umat Islam mengalami kemunduran. Pada perkembangan Islam pada
abad enam terakhir, umat islam bearada dalam lingkungan kejumudan yang
disebabkan kehancuran Baghdad sebagai simbol peradaban ilmu pengetahuan dan
agama pada pertengahan abad 13.
Dua tahun
kemudian beliau pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau memperoleh
gelar Ph. D dalam tasawuf dengan
disertasinya yang berjudul The
Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).
Beliau
tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich,
beliau menjadi advokat dan juga sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Thought in
Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan
merupakan karyanya terbesar dalam bidang filsafat.
Pada tahun
1930, beliau memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada
tahun 1931 dan tahun 1992, beliau ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London
yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau
di undang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada
tahun 1935, beliau jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal
dunia pada tahun itu pula, dan beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.
2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Islam dalam
pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat
statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak
perubahan dalam kehidupan sosial manusia.
Oleh karena
itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya
harus menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan beliau terhadap gerak dan
perubahan ini membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam.
Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut beliau adalah membangkitkan kesadaran
manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan dengan
kemampuan nalar manusia dan dinamika manusia yang selalu berubah. Inilah yang
dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh beliau disebutnya
sebagai prinsip gerak dalam struktur
Islam.
Oleh karena
itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hokum Islam, ijtihad harus
dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut beliau, peralihan kekuasaan ijtihat
individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislative Islam adalah
satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem
hokum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada kaum
muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme
tersebut..
Sebagaimana
pandangan mayoritas ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihat kedalam tiga
tingkatan, yaitu :
·
Otoritas
penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas
pada pendiri madzhab-madzhab saja;
·
Otoritas
relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab;
·
Otoritas
khusus yang berhubungan dengan penetapan hokum dalam kasus kasus tertentu
dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.
a. Hakikat Teologi
Secara umum
beliau melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi keimanan, mendasarkan pada
esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa yang
bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan”. Pandangannya
tentang ontology teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpanan) yang
melekat pada literatur ilmu kalam klasik.
b. Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, beliau menolak argumen kosmologis maupun ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur
ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, beliau menerima landasan teleologis yang imamen (tetap ada). Untuk menopang hal ini, beliau menolak
pandangan yang statis tentang matter
serta menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tidak berhenti.
Karakter nyata konsep tersebut ditemukan beliau dalam “jangka waktu murni”-nya
Bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu murni”,
ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian).
c. Jati diri manusia
Faham dinamisme beliau berpengaruh besar
terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan
ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego,
ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu diartikan dengan
kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan
mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya,
seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana
dengan Allah.
d. Dosa
Beliau
secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang
kebebasan ego manusia yang bersifat
kreatif. Dalam hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam
(karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang
“kebangkitan manusia dari kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah
kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga
mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya
ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memiliki”.
e. Surga dan Neraka
Surga dan
Neraka, kata beliau adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang
keduanya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara
visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Qur’an adalah “api Allah
yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang
menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena
mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai gorongan yang menuju kepada
perpecahan.
D. SAYYID AHMAD
KHAN
1. Riwayat Singkat Sayyid Ahmad Khan
Beliau lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu keterangan, beliau
berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Melalui Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az
Zahra. Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II
(1754-1759). Sejak kecil, Beliau mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan
agama. Beliau belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia.
Beliau rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika
berusia delapan belas tahun, beliau bekerja pada Serikat India Timur. Pengaruhnya
beliau di Serikat India Timur khususnya di dunia Islam diakui cukup besar.
Beliau pengliham utama kebangkitan orang Islam di masa abad 19, langsung atau
tidak langsung beliau berperan dalam pengorganisasian beberapa gerakan masa dan
gerakan reformis diseluruh umat Islam. Di dalamnya termasuk gerakan modernis
dan khalikah di india, gerakan nasionalis dan modernis di Mesir, gerakan
persatuan dan kemajuan di Turki. Kemudian bekerja pula sebagai
hakim, tetapi pada tahun 1846 beliau kembali ke Delhi dan mempergunakan
kesempatan itu untuk belajar.
Di kota Delhi inilah beliau dapat melihat langsung peninggalan-peninggalan
kejayaan Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuda muslim, seperti Nawab
Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin, Semasa
di Delhi, beliau mulai mengarang. Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid, pada tahun 1855 beliau
pindah ke Bijnore. Di tempat ini, beliau tetap mengarang buku-buku penting
Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di
Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika melihat
keadaan rakyat Delhi, beliau sempat berpikir untuk meninggalkan India menuju
Mesir, tetapi beliau sadar bahwa beliau harus memperjuangkan umat Islam India
agar menjadi maju. Beliau berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan banyak
menolong orang Inggris dari pembunuhan, hingga diberi gelar Sir, tetapi beliau menolaknya.
Pada tahun 1861 beliau mendirikan sekolah Inggris di Maradabad dan Ghaziur untuk
para pelajar yang ingin menuntut ilmu. Pada tahun 1878 beliau mendirikan
sekolah Mohammedan Anglo Oriental College
(MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan
berpengaruh untuk memajukan umat Islam India.
Membentuk All India Muhammadan
Educational Conference yang bertujuan untuk memajukan pendidikan Islam di
bidang kaum muslim. Sebagai pemikir Islam di bidang Pendidikan, banyak karya
tulis yang di hasilkannya seperti tafsir
Alqur’an 6 jilid, Tabyin al-Kalam
1862 tentang bible dan Asbab Baghawat
i-Hind 1858 dan Essai and the life of
Muhammad 1870 (biografi Nabi Muhammad). Hingga akhir ayatnya beliau selalu
mementingkan pendidikan umat Islam India dan meninggal dunia pada tahun 1989.
2. Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Beliau
mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesdir, setelah Abduh
berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang
mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai
penganut ajaran Islam yang taat dan pecaya akan kebenaran wahyu, beliau
berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.
Keyakinan
kekuatan dan kebebasan akal menjadikan beliau percaya bahwa manusia bebas untuk
menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa beliau mempunyai
faham yang sama dengan faham Qadariyah.
Menurutnya, beliau telah dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, diantaranya
adalah daya berfikir berupa akal, dan daya fisik untuk merealisasikan
kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan terhadap hokum alam dan kerasnya
mempertahankan konsep hokum alam, beliau dianggap kafir oleh sebagian umat
Islam. Bahkan ketika dating ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani
menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin
mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd
Ad-Dahriyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).
Sejalan
dengan faham Qadariyah yang
dianutnya, ia menentang keras faham aklid.
Beliau berpendapat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti
perkembangan zaman. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa Tuhan telah
menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi setipa makhluk-Nya
yang tetap dan tidak pernah berubah, Menurut beliau, Islam agama agama yang
paling sesuai dengan hokum alam, karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan
Al-Qur’an adalah firman-Nya maka sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak
ada pertentangan.
Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal
dan hokum alam, beliau tidak mau pemikirannya tergantung otoritis Hadist dan
Fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritis rasional. Beliau pun menolak semua
yang bertentangan dengan logika dan hokum alam. Beliau hanya mau mengambil
Al-Qur’an sebagai pedoman bagi Islam, sedangkan yang lain hanya bersifat
membantu dan kurang begitu penting.Alasan penolakan beliau terhadap Hadist
adalah karena Hadist berisi moralitas sosial dari masyarakat Islam pada abad
pertama atau kedua sewaktu hadist tersebut dikumpulkan. Sedangkan hokum Fiqh,
menurut beliau adalah berisi moralitas masyarakat berikutnya sampai saat
timbulnya mazhab-mazhab. Beliau menolak taklid dan membawa Al-Qur’an untuk
menguraikan relevansinya dengan masyarakat baru pada zaman itu.
Sebagai
konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, beliau memandang perlu
diadakannya ijtihad-ijtihat baru
untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
E. ISMAIL AL-FARUQI
1. Riwayat singkat Ismail Al-Faruqi )
Ismail Raji Al-Faruqi, lahir pada tanggal 1
januari 1921 di Jaffa Palestina. Pendidikannya dimulai dari madrasah, kemudian
pendidikan menengahnya di College De Fresses S. Joseph, pada tahun 1941.
Kemudian beliau mengambil kuliah filsafat di American University, Beirut.
Setelah tamat, beliau bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada pemerintahan
Inggris selama 4 tahun. Pada tahun 1949, Faruqi hijrah ke AS untuk melanjutkan
kuliahnya, beliau mendapat gelar master filsafat dari Universitas Indiana. Dua
tahun kemudian gelar filsafat kembali ia raih dari Universitas Havard.
Selama 3 tahun, beliau menyelesaikan
pascasarjana di Universitas Al-Azhar. Kemudian bergabung dengan Institut of
Islamic Studies di Universitas Mc Gill, Canada. Pada tahun 1964, Faruqi kembali
ke AS dan menjadi guru besar tamu pada Universitas Chicago dan Assosiate
Professor bidang agama pada Universitas Syracuse. Pada tahun 1968 hingga
wafatnya beliau menjabat guru besar agama pada Universitas Temple, Karachi.
2. Pemikiran kalam Al-Faruqi
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa:
a. Tauhid sebagai inti pengalaman agama
Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung. Esensi pengalaman agama dalam islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa:
a. Tauhid sebagai inti pengalaman agama
Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung. Esensi pengalaman agama dalam islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.
b. Tauhid sebagai pandangan
dunia
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
c. Tauhid sebagai intisari
Islam
Esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa yauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan ptanata kenabian pun menjadi hilang.
Esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa yauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan ptanata kenabian pun menjadi hilang.
d. Tauhid sebagai prinsip
sejarah
Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Is terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Is dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi
Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Is terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Is dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi
e. Tauhid sebagai
prinsip pengetahuan
Berbeda denga “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalan ditetapkan sebagai kebenaran
Berbeda denga “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalan ditetapkan sebagai kebenaran
f.
Tauhid sebagai prinsip metafisika
Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
g. Tauhid sebagai prinsip
etika
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya.
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya.
h. Tauhid sebagai
prinsip tata sosial
Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya.
Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya.
i. Tauhid
sebagai prinsip ummah
Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang etnosentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat.
Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang etnosentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat.
j. Tauhid
sebagai prinsip keluarga
Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid.
Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid.
k. Tauhid sebagai tata
politik
Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan yang dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak iIahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah peelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan
Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan yang dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak iIahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah peelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan
l.
Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk mebatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.
m. Tauhid sebagai prinsip estetika
Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk mebatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.
m. Tauhid sebagai prinsip estetika
Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
F . Hasan Hanafi
1. Riwayat singkat hidup Hasan Hanafi
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 februari
1935 di Kairo. Pada tahun 1948 beliau menamatkan pendidikan tingkat dasar dan
melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha,Kairo selama 4 tahun.
Beliau aktif mengikuti diskusi kelompok, oleh karenanya beliau mengetahui
pemikiran yang dikembangkan kelompok dan aktivitas sosialnya.
2. Pemikiran kalam Hasan Hanafi
a. Kritik terhadap teologi tradisional
Dalam gagasannya, Hanafi menegaskan perlunya
mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan sesuai dengan
perubahan konteks-politik yang terjadi. Menurut Hanafi, teologi sesungguhnya bukan
ilmu tentang Tuhan, yang secara etimologis berasal dari kata theos dan logos,
melainkan ilmu tentang kata(ilm al-kalam)2)
b. Rekonstruksi teologi
Langkah melakukan rekonstruksi teologi
sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh :
1) Kebutuhan akan adanya sebuah
ideologi yang jelas
2) Pentingnya teologi baru bukan semata
pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis.
3) Kepentingan teologi yang bersifat
praktis secara nyata diwujudkan dalam realita.
G . H.M. Rasyidi
1. Sekilas tentang H.M. Rasyidi
Dalam konteks pertumbuhan kajian akademik Islam di Indonesia, orang akan
sulit mengesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi
islam di Mesir yang melanjutkan ke Paris. Ia adalah intelektual Indonesia yang
paling banyak memperoleh penyerapan ramuan-ramuan intelektual.
2. Pemikiran kalam H.M. Rasyidi
a. Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi
b. Tema-tema ilmu kalam
c. Hakikat iman
G. Harun Nasution
1. Riwayat hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari selasa 23
september 1919 di Sumatera. Pendidikan formalnya dimulai di sekolah Belanda
HIS, setelah itu ia meneruskan ke MIK (Modern Islamietishe Kweekschool) di
Bukittinggi 1934. kemudian melanjutkan ke Universitas Amerika di Mesir.
Kemudian melanjutkan ke Mc.Gill, Kanada pada tahun 19623).
Pada tahun 1969 beliau menjadi dosen di IAIN Jakarta,IKIP Jakarta dan
Universitas Nasional.
2. Pemikiran kalam Harun Nasution
a. Peranan akal
b. Pembaruan teologi
c. Hubungan akal dan wahyu
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam
peradaban Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW terjadi berbagai macam paham
dalam ajaran Islam di mana umat Islam terpecah-pecah dan pemikir kalam yang
bermacam-macam dalam berpaham ajaran Agama Islam. Di antaranya pemikiran kalam
yang terkenal pada masa sekarang adalah :
1. Muhammad
Bin Abdul Wahab
2. Syehk
Muhammad Abduh
3. Muhammad
Iqbal
4. Sayyid Ahmad
Khan
5. Ismail Al -
Faruqi
6. Hasan
Hanafi
7. H.M Rasyidi
Dari ketiga
tokoh ulama ini kita dapat mengambil pelajaran di mana para ulama tersebut rela
berkorban dalam menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya di dunia Islam yang mana
umat Islam pada masa hidup para ulama ini sampai sekarang sudah lalai dengan
kenikmatan dunia. Oleh sebab itu ketiga tokoh ulama ini mengajak umat Islam
untuk kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya.
B. SARAN
Penulis
berharap agar makalah ini bermamfaat guna menunjang pemahaman terhadap mata
kuliah Ilmu Kalam. Semoga makalah ini bermamfaat bagi pembaca serta penulis
sendiri. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran guna perkembangan kedepan
dalam menyusun makalah kembali.
C. DAFTRA PUSTAKA
Dr.Abdul Rozak, M.Ag. Drs. Rosihan Anwar,M.Ag, Ilmu Kalam,Pustaka Setia,
Bandung,2007.
-
Abdullah Amin, Falsafah Kalam,Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1995.
-
Abdullah, Taufik, (Ed.),Sejarah dan masyarakat, Pustaka Firdaus,
Hakarta, 1987.
Amal, Taufiq
Adnan, dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir dan konstektual Al-Qur’an :Sebuah
Kerangka Konseptual, Mizan, Bandung,1989.
1 . Disadur dari Lamya
Al-Faruqi, Allah, masa depan kaum wanita,terj. Masyhur Abadi,Al-Fikr.Surabaya,1991.hal.vIII-x
3 . Zaim
Uchrowi,”Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah,dalam Aqib Suminto (ketua
panitia), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam:70 Tahun Harun Nasuion,
Lembaga Studi Agam dan Filsafat, Jakarta,1989,hlm. 3 dan seterusnya
Al-Faruqi, Lamya, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, Surabaya: Al-Fikr, 1991
Al-Faruqi, Ismail Raji Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Jakarja: Pustaka, 1988
Kusnadiningrat, E. Teologi dan Pembebasan; Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, Jakarta:Logos, 1999
Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, bandung: Pustaka Setia, 2006
Ridwan, A.H. Reformasi Intelektual Islam,Yohyakarta: Ittaqa Press, 1998
Comments
Post a Comment