A. Sejarah
1. Khawarij
Istilah Khawarij berasal dari kata “kharaja” yang
berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.
Alasan mereka keluar, karena tidak setuju terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib
yang menerima arbirtrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan
khalifah dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan.
Khawarij merupakan aliran dalam teologi Islam yang
pertama kali muncul. Menurut Asy-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij
adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para
jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin, maupun pada masa
tabi’in secara baik-baik.
Demikian pula, kaum khawarij dikenal sebagai
sekelompok orang yang melakukan pemberontakan terhadap imam yang sah yang
diakui oleh rakyat (ummat). Oleh karena itu, istilah Khawarij bisa dikenakan
kepada semua orang yang menentang para imam, baik pada masa sahabat maupun pada
masa-masa berikutnya. Namun demikian, dalam tulisan ini nama Khawarij khusus
diberikan kepada sekelompok orang yang telah memisahkan diri dari barisan Ali.
Pengikut Khawarij, pada umumnya terdiri dari
orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus,
menyebabkan mereka bersipat sederhana, baik dalam cara hidup maupun dalam cara
berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak
bergantung kepada orang lain, dan cenderung radikal. Karena watak keras yang
dimiliki oleh mereka itulah, maka dalam berfikir dan memahami agama mereka pun
berpandangan sangat keras.
Aliran Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan
politis yang kemudian beralih menjadi gerakan teologis. Perubahan ini terutama
setelah mereka merujuk beberapa ayat Alquran untuk menunjukkan, bahwa gerakan
mereka adalah gerakan agama. dan secara terorganisir terbentuk bersamaan dengan
terpilihnya pemimpin pertama, Abdullah bin Wahab Al-Rasyibi, yang ditetapkan
pada tahun 37 H. (658 M). Karena pertimbangan-pertimbangan politis, Fazlur
Rahman memandang bahwa Khawarij “tidak memiliki implikasi doktrinal yang
menye-leweng, tetapi hanya seorang atau sekelompok pemberontak atau aktifis
revolusi”.
2. Jabariyah
Pendapat Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah
(660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya
perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak
mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk
memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin
memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala
negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan “Qadha dan Qadar/ketentuan
dan keputusan Allah semata” dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di
dalamnya.
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan
(Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70
H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut
Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia
terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan
Allah semata, tidak ada campur tangan manusia.
Paham Jabariyah
dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai
kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama
mempelopori paham jabariyah adalah Al-Ja’ad bin Dirham, dia juga disebut
sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan
meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari
adanya ru’ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum
Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan.
Karena kaum Mu’tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi
pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut.
Selanjutnya ditangan Mu’tazilah paham-paham
tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi’i menyebutnya Wasil, Umar,
Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum
Mu’tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa sebagai pengikut Mu’tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah
adalah Mu’tazilah, karena kaum Mu’tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah
dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu’tazilah
menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.
3. Qadariyah
Qadariyah berasal
dari bahasa arab, yaitu dari bahasa qadara yang artinya kemampuan dan
kekuatan. Adapun menurut pengertian termonologi, Qadariyah adalah suatu
aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh
tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi
segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri, berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa
Qadariyah dipakai untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dalam
hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus tunduk pada qadar tuhan.
Seharusnya sebutan
Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan
segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat.
Namun sebutan tersebut telah melekai kaum sunni, yang
percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehandak. Menurut Ahmad Amin,
sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan
merujuk hadis yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat
islam ketika itu, ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinua reaksi keras
ini. Pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat arab sebelum
islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa arab ketika
itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah
kepada keganasan alam. Panas yang menyengat, serta tanah dan gunung yang
gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup
yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya.faham itu terus dianut kedatipun
mereka telah beragama islam, karena itu , ketika faham Qadariyah di kembangkan
, mereka tidak dapat menerimanya, faham Qadariyah itu dianggap bertentangan
dengan doktrin islam.
Kedua tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan
itu sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham
Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham
Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat,
yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap
tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
4. Mu’tazilah
Munculnya aliran Muktazilah sebagai reaksi atas
pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang
mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa
besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir.
Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar
itu sebagai mukmin, bukan kafir.
Menghadapi
kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha’ yang ketika itu menjadi
murid Hasan Al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya
mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi
antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di
antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi
siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Demikianlah pendapat Wasil bin Atha’ yang kemudian
menjadi salah satu doktrin Muktazilah yakni al manzilah bain al-manzilatain
(posisi di antara dua posisi). Setelah mengeluarkan pendapatnya ini, Wasil bin
Atha’ pun akhirnya meninggalkan perguruan Hasan al Basri dan lalu membentuk
kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal aliran Muktazilah.
Setelah Wasil bin Atha’ memisahkan diri, sang guru yakni Hasan al Basri
berkata: ”I’tazala ‘anna Wasil (Wasil telah menjauh dari diri kita).
Menurut Syahristani, dari kata i’tazala ‘anna itulah
lahirnya istilah Muktazilah. Ada lagi yang berpendapat, Muktazilah memang
berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu berarti memisahkan diri secara
fisik. Muktazilah dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang
berkembang sebelumnya, karena memang pendapat Muktazilah berbeda dengan
pendapat sebelumnya. Selain nama Muktazilah, pengikut aliran ini juga sering
disebut kelompok Ahl al-Tauhid (golongan pembela tauhid), kelompok Ahl al-Adl
(pendukung faham keadilan Tuhan), dan kelompok Qodariyah. Pihak lawan mereka menjuluki
kelompok ini sebagai golongan free will dan free act, karena mereka menganut
prinsip bebas berkehendak dan berbuat.
Ketika pertama kali muncul, aliran Muktazilah tidak
mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka
sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan filosofis.
Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat
itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah
Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Muktazilah baru mendapatkan tempat,
terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma’mun, penguasa
Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).
Kedudukan Muktazilah semakin kokoh setelah Khalifah al
Ma’mun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena
Khalifah al Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan
filsafat dan il-mu pengetahuan. Dan, pada masa kejayaan itulah karena mendapat
dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam
sejarah deng-an peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu
makhluk Allah, ja-di tidak qadim. Jika Alquran dikatakan qadim, berarti ada
yang qadim selain Al-lah, dan ini hukumnya syirik.
5. Murji’ah
Nama Murji’ah diambil
dari kata irja atau arja’a yang bermakna
penundaan, penangguhan. dan Pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti
memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk
memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti
pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan
amal dan iman. Oleh karena itu Murji’ah, artinya orang yang menunda
penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta
pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Bagi kaum Murji’ah,
orang yang melakukan dosa besar adalah tetap mukmin, soal dosa besar yang
dilakukannya merupakan hak Tuhan untuk menentukannya di hari
kemudian. Alasan mereka adalah bahwa orang yang melakukan dosa besar itu masih tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan (Rasul) Allah, atau dengan kata lain masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar iman. Selanjutnya, kaum Muhajirin memberikan harapan bagi orang Islam yang melakukan dosa besar, dengan mengatakan bahwa mereka tidak kekal di dalam neraka aliran Murji’ah menganggap iman lebih utama dari amal perbuatan
kemudian. Alasan mereka adalah bahwa orang yang melakukan dosa besar itu masih tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan (Rasul) Allah, atau dengan kata lain masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar iman. Selanjutnya, kaum Muhajirin memberikan harapan bagi orang Islam yang melakukan dosa besar, dengan mengatakan bahwa mereka tidak kekal di dalam neraka aliran Murji’ah menganggap iman lebih utama dari amal perbuatan
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul
kemunculan Murji’ah diantaranya:
1. Teori yang mengatakan bahwa gagasan irja,
yang merupakan basis doktrin Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan
politik yang diperlihatkan oleh Al-Hasan bin Muhammad A1-Hanafiyah, sekitar
tahun 695. Watt, penggagas teori ini, menceritakan hahwa 20 tahun setelah
kematian Muawivah. pada tahun 680, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil.
Al-Mukhtar membawa faham Syi’ah ke Kufah dari tahun 685-687; Ibnu Zubayr
mengklaim kekhalifahan di Mekah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam.
Sebagai respon
dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan
(postponenment). Gagasan ini pertama kali digunakan sekitar tahun 695, Al-Hasan
bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam Surat itu,
Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan,
“Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan
keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang
melibatkan Usman, Ali, dan Zubayr (seorang tokoh pembelot ke Mekah).”
Dengan sikap politik ini. Al-Hasan mencoba mengulangi
perpecahan umat Islam. la kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok syiah
revolusioner yang terlampau menggunkan Ali dan para pengikutnya, serta
menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui ke khalifahan Muawiyah
dengan alasan bahwa ia adalah keturunan dari sipendosa Usman.
2. Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi
perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrasi) atas
usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali
terpecah menjadi dua kubu. yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang
akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij.
Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Quran dalam pengertian,
tidak bertahkim berdasarkan hokum Allah.
Oleh karena
itu, rnereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya
dapat dihukum kafir, sama seperti perbuatan dosa besar seperti zina, riba
membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah
wnita baik-baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang keudian disebut
Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir,
sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau
lidak.
6. Asy’ariyah
Aliran ini muncul
sebagai reaksi terhadap faham Mu’tazilah yang dianggap ‘menyeleweng dan menyesatkan’
umat Islam. Mu’tazilah pada masa al Ma’mun melakukan mihnah yang
mendapat tanggapan negatif dari berbagai golongan, sehingga pengaruhnya sedikit
memudar di mata masyarakat.
Pada saat inilah muncul Al Asy’ari, seorang yang
dididik dan dibesarkan di lingkungan mu’tazilah. Ia menyelami ajaran-ajaran
Mu’tazilah melalui gurunya, Al Jubbai. Dengan ketekunan dan kepandaiannya, maka
ia menjadi murid kesayangan Al Jubbai dan sering diutus untuk mengikuti forum
diskusi dan perdebatan Sehingga tak heran kalau ia kemudian menjadi terampil
dalam berdebat dan beradu argumen, termasuk dengan gurunya sendiri, namun ia
sering merasa kecewa dengan jawaban ataupun penjelasan gurunya. Hingga pada
usia 40 tahun, Al Asy’ari menyatakan keluar dari Mu’tazilah mendirikan golongan
baru, yang akhirnya populer dengan nama Asy’ariyah.
Pemikiran Teologis Asy’ariyah merupakan sintesa dari
pertentangan antara kaum rasional Mu’tazilah dan kaum konservatif tradisional.
Beruntungnya, pemikiran ini banyak diterima di kalangan masyarakat muslim.
Pokok-pokok pemikiran ini dianggap merupakan jalan keluar dari pertentangan
antara golongan rasionalis dan tekstualis, di samping itu sangat mudah untuk
dipahami karena sederhana dan tidak terlalu filosofis.
Pokok-pokok pemikiran Asy’ariyah terus berkembang.
Bahkan pokok-pokok pemikiran teologi Asy’ariyah telah menjadi keyakinan seluruh
anggota Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Aliran ini semakin besar dengan dukungan
Khalifah Al Mutawakkil, yang menjadikannya sebagai mazhab resmi negara.
7. Maturidiyah
Aliran Maturidiyah menentang paham Muktazilah yang
dianggap menyesatkan umat Islam.Setelah wafatnya Khalifah Usman bin Affan dan
tampilnya Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah keempat, umat Islam terpecah
dalam memberikan dukungan. Ada yang meminta supaya diusut dulu penyebab
wafatnya Usman dan siapa dalang di baliknya, sedangkan yang lain meminta
ditegakkan dulu posisi khalifah untuk meredakan situasi yang genting.Kondisi
yang ‘mencekam’ itu membuat umat Islam terpecah dalam memberikan dukungan kepada
Ali bin Abu Thalib. Ada yang mendukung dan ada pula yang menentangnya.
Akibatnya,
bermunculan tuduhan saling menyesatkan di antara umat Islam. Bahkan, sampai ada
kelompok yang mengafirkan kelompok lain.
Inilah
salah satu faktor yang menyebabkan munculnya paham atau aliran teologi (akidah)
dalam Islam. Di antara aliran teologi itu, salah satunya adalah aliran
Maturidiyah.Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak
rasional-tradisional. Aliran ini kali pertama muncul di Samarkand, pertengahan kedua
abad kesembilan Masehi. Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu
Mansur Muhammad al-Maturidi. Al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim
keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Muktazilah dan
Asy’ariyah mengenai kemampuan akal manusia.Aliran ini disebut-sebut memiliki
kemiripan dengan Asy’ariyah. Sebelum mendirikan aliran Maturidiyah ini, Abu
Mansur al-Maturidi adalah murid dari pendiri Asy’ariyah, yakni Abu Hasan
al-Asy’ari.
Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru
Van Hoeve, disebutkan, pada pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang
hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama. Sebab, pendapat Muktazilah
dianggap menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi yang hidup pada masa itu
melibatkan diri dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan
pemikirannya.Pemikiran-pemikiran al-Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung
tidak hanya paham Muktazilah, tetapi juga aliran Asy’ariyah. Banyak kalangan
yang menilai, pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah
dan Asy’ariyah. Karena itu, aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara
teolog Muktazilah dan Asy’ariyah”.Namun, keduanya (Maturidi dan Asy’ari) secara
tegas menentang aliran Muktazilah.
8. Syi’ah
Jika dikatakan Syiah sebagai bagian dari aliran Islam,
ini berarti posisinya sejajar dengan aliran lain yang masing-masing memiliki
peran dalam sejarah Islam. di Dalam buku “awamil dzuhur al-Firaq fi al-Fikr
al-Islam”, dijelaskan bahwa Syiah pada awal mula perkembangannya merupakan
aliran spiritual-politik pada masa dinasti umaiyah dan Abbasiyah, dengan
gamblang Syiah (pendukung Ali) telah berkecimpung dalam lega politik, sehingga
daripada itu mulailah orang-orang asing bergabung bersama aliran ini dan
setia menyokong visi dan misi Syiah, hingga akhirnya Syiah disambut hangat oleh
banyak orang yang kemudian tersebar diberbagai daerah kekuasaan.
Hingga sekarang aliran ini (Syiah) menambah porsi
kewilayahan dalam Agama serta dijadikan sebagai sistem pemerintahan. Hal ini
menandakan bahwa keberadaan serta wujud Syiah tidak dapat dipungkiri.
Dalam perkembangannya Syiah terbagi kedalam beberapa
golongan namun yang sekarang banyak dianut terdapat tiga golongan besar:
1. Zaidiyah
Madzhab “Zaidiyah” dinisbatkan kepada Zaid bin Ali
Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.ra, golongan ini berkembang
pesat di daerah Yaman, sebagai keyakinan mereka bahwa kepemimpinan adalah
hanya hak penuh bagi keturunan Ali bin Abi Thalib r.a beserta keturunan
beliau. hanya saja mereka memiliki persepsi lain yang menyatakan bahwa pemimpin
boleh dua orang sekaligus dalam satu masa! mereka adalah golongan syi’ah yang
paling dekat dengan pemahamam Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah. Isma’iliyah (Mazhab
Tujuh Imam) dinisbatkan kepada Ismail bin Ja’far ash-Shidiq bin Muhammad baqir.
Mereka berkeyakinan bahwa imam itu hanya berjumlah tujuh orang, dan imam yang
terakhir adalah Isma’il bin Ja’far. Mereka mempunyai dua pemahaman; pertama:
al-Buhira yaitu pemahamam yang mengatakan bahwa imam terakhir adalah Sutan
al-Buhira, pemahaman ini berkembang di kalangan syi’ah yang berada di negara
India dan Yaman. Kedua : al-Najariah yaitu kelompok yang mengatakan bahwa imam
terakhir adalah Karim Khan, dan mereka ini juga tersebar di India, Pakistan dan
Afrika sebelah timur.
·
Imamiyah
Itsna Asyariyah
Golongan ini memiliki banyak pengikut, jika
dikalkulakisan hingga mencapai 70 juta orang yang tersebar di berbagai Negara,
diantaranya Iran, Irak, Pakistan, India, Rusia, dan juga tersebar dikawasan
Siria, dan Yaman.Golongan ketiga ini (Syiah Imamiyah) merupakan aliran yang
terdiri dari 12 Imam, berawal dari amirul mukminin Ali bin Abi Thalib.ra dan
berakhir pada Abul qasim Muhammad bin Hasan (al-Mahdi). Golongan ini
dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq, yang menyatakan keimaman Ali bin Abi Thalib
r.a yang kemudian di gantikan keturunannya secara turun-temurun, mereka
berpendapat bahwa Ja’far al-Shadiq tidak pernah menyerahkan keimaman kepada
puteranya yang tertua (Ismail), karena dia meninggal sebelum ayahnya (Ja’far
al-Shadiq) meninggal. namun jabatan itu dipangkukan kepada puteranya yang
bernama Musa al-Kadzimi yang memegang jabatan selama 30 tahun.
Imam
ke-sebelas dari golongan itsna ‘asyariyah ini dijabat oleh al-Hasan bin Ali
al-Asykari dan puteranya Muhammad bin Hasan yang dianggap sebagai imam
terakhir, imam yang ke-duabelas ini dengan laqab al-Hadi, al-Qaim, al-Hujjah,
digelari pula dengan al-Muntazhar (yang ditunggu
B. Pemikiran dan Analisis
1. Wahyu dan akal
kaum Mu’tazilah berpendapat semua persoalan di atas
dapat diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas
seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan
buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan.
Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik. berbeda dengan Mu’tazilah, kaum
asy’ariyah berpendapat akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Tetapi akal
tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan. Untuk mengetahui
hal-hal tersebut diperlukan wahyu. Melalui wahyu manusia bisa mengetahuinya. Tanpa
wahyu, manusia tidak akan tahu.
Golongan maturidiyah samarkan berpendapat, akal dapat
mengetahui adanya Tuhan kewajiban dan berterima kasih kepada Tuhan dan
mengetahui baik dan buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui bagaimana
kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk, karena itu wahyu sangatlah
diperlukan untuk menjelaskannya.Golongan maturidiyah bukhara sependapat dengan
kaum asy’ariyah.
2. Pelaku dosa besar
2.1. Menurut aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak
ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran
ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka
memandang bahwa orangorang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali,
Mu’awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman
Allah pada surat al-Maidah ayat 44:
( ومن لم
يحكم بما انزل الله فأ لئك هم الكافرون)المائدة: 44
Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut
semua sub sekte khwarij, kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka
selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, azariqah, menggunakan istilah yang
lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa
saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar
dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah
(agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal dineraka bersama
orang-orang kafir lainnya.
2.2. Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa
besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara
garis besar, sebagaimana telah dijelaskan sub sekte Khawarij dapat
dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat.
Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah
yang ekstrim dan mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam
kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa
yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang
yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak
keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan. Adapun murji’ah
moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi
kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada
ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni
dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraca.
2.3 Menurut aliran Mu’tazilah
Perbedaannya, bila khwarij mengkafirkan pelaku dosa
besar dan murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak
menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia
tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu
al-manzilah baial manzilataini.
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada
diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal
dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam nerak
selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari
pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh
Mu’tazilah, seperti wastul bin atha’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu
dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.
2.4. Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari,
sebagai wakil ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke
baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan
mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan
keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika
dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal)
dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa
besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut
al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa berkehendak
mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya
mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang
tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
2.5. Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara,
sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya
keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat
bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat
terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT.
jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraca,
tetapi tidak kekal didalamnya.
2.6. Aliran Syi’ah Zadiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang
melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraca, jika ia belum tobat dengan
tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah zaidiyah memang dekat dengan
Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat washil bin atha’, mempunyai
hubungan dengan zaid moojan momen bahkan mengatakan bahwa zaid pernah belajar
kepada washil bin atho’.
3. Sifat-sifat Tuhan
3.1. Menurut aliran Mu’tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dan kaum
asy’ariyah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai
sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti
halnya dengan zat Tuhan. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa kepada
paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau poltiplicity of eternals).
Dan ini selanjutnya membawa pula kepada paham syirik atau polyteisme. Suatu hal
yang tak dapat diterima dalam teologi.
Sebagian telah dilihat dalam bagian 1, kaum Mu’tazilah
mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat. Ini berarti bahwa Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak
mempunyai kekuatan dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui dan sebagainya
bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui dengan
perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.
3.2. Menurut Aliran Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan
dengan Mu’tazilah mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai
sifat, karena perbuatan-perbuatan nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan
mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan,
kemauan, dan daya.
3.3. Aliran Maturidiyah
Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan
alasy’ari, seperti di dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti
sama’, basher dan sebagainya. Walaupun begitu pengertian al-maturidi tentang
sifat berbeda dengan alasy’ari. Menurut al-maturidi sifat tidak dikatakan
sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu
mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah. Tampaknya paham
al-maturidi, tentang makna sifat cenderung mendekati paham Mu’tazilah.
Perbedaannya almaturidi mengaku adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu’tazilah
menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
3.4. Aliran Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar tokoh
Syi’ah rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu, namun adapula
sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahun terhadap
sesuatu sebelum ia menghendaki. Tatkala ia menghendaki sesuatu, ia pun bersifat
tahu, jika dia tidak menghendaki, dia tidak bersifat tahu, maka Allah
berkehendak menurut merek adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan (taharraka
harkah), ketika gerakan itu muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu.
Mereka berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak
ada.
4. Iman dan Kufur
4.1. Aliran Khawarij
Khawarij menetapkan
dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar agar dengan demikian orang Islam
yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas harta
bendanya dengan dalih mereka berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir.
Mengkafirkan Ali, Utsman, 2 orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam perang
jamal dan orang-orang yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang
yang berdosa besar dan wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng.
Dan iman menurut
kwaharij, iman bukanlah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahui pun belumlah
cukup. Menurut Abd. Al-jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan
kepadanya,bukanlah orang yang mukmin, dengan demikian iman bagi mereka bukanlah
tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari
mengetahui Tuhan tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah
Tuhan.
4.2. Aliran Murji’ah
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka
yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu,
segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak
berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna
dalam pandangan Tuhan.
Sementara yang
dimaksud murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa
besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal
didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya.
4.3. Aliran Mu’tazilah
Iman adalah tashdiq
di dalam hati, iktar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan konsep ketiga
ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang
ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah Khawarij.
4.4. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini,
dijelaskan oleh syahrastani, iman secara esensial adalah tasdiq bil al janan
(membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lesan dan melakukan berbagai
kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh
sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga
membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman
secara ini merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia
mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
4.5. Maturidiyah
Iman adalah tasdid dalam hati dan diikrarkan dengan
lidah, dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai
dalam hatinya akan kebenaran Allah dan mengikrarkan kepercayaannya itu dengan
lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia.
yang penting tasdid dan ikrar.
5. Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
5.1. Aliran Jabariyah
Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa atas
perbuatannya yang menentukan perbuatan manusia itu adalah Tuhan, karena itu
manusia tidak berdaya sama sekali untuk mewujudkan perbuatannya baik atau
buruk. Diumpamakan manusia seperti wayang yang tidak berdaya, bagaimana dan
kemana ia bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu. Dalang manusia
adalah Tuhan, ini dianggap paham Jabariyah yang dianggap moderat, perbuatan manusia
tidak sepenuhnya ditentukan untuk Tuhan, tetapi manusia punya andil juga dalam
dalam mewujudkan perbuatannya.
5.2. Aliran Qadariyah
Manusia mempunyai
iradat (kemampuan berkehendak atau memilih) dan qudrah (kemampuan untuk
berbuat). Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak lahirnya dengan
qudrat dan iradat, suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan
tersebut.
5.3. Aliran Mu’tazilah
Paham ini dalam
masalah af’al ibadah seirama dengan paham Qadariyah untuk perbuatan-perbuatan
Tuhan, mereka berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban itu dapat
disimpulkan dalam satu kewajiban yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi
manusia seperti kewajiban Tuhan menepati janji-janji-Nya. Kewajiban Tuhan
mengirim Rasulrasul-Nya untuk petunjuk kepada manusia dan lain-lain.
5.4. Aliran Asy’ariyah
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan
qodrat dan iradat Tuhan, Abu Hasan Ali Bin Ismail al-Asy’ari menggunakan paham
kasb yang dimaksud dengan al- Kasb adalah berbarengan kekuasaan manusia dengan
perbuatan Tuhan. Artinya apabila seseorang ingin melakukan suatu perbuatan,
perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan kehendak Tuhan.
5.5. Aliran
Maturidiyah
Menurut golongan maturidiyah, kemauan sebenarnya
adalah kemauan Tuhan namun tidak selamanya perbuatan manusia dilakukan atas
kerelaan Tuhan karena Tuhan tidak menyukai perbuatan-perbuatan buruk. Jadi di
dalam aliran maturidiyah ada 2 unsur: kehendak dan kerelaan.
6. Kehendak muthlak dan keadilan Tuhan
6.1. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah yang berperinsip keadilan Tuhan mengatakan
bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin bebuat zalim dengan memaksakan kehendak
kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat
perbuatannya, secara lebih jelas aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan
sebenarnya tidak mutlak lagi. Itulah sebabnya Mu’tazilah menggunakan ayat 62
surat Al-Ahzab (33)
سنة ال فى الذين خلوا
من قبل ولن تجد لسنة ال تبديل
6.2. Aliran Asy’ariyah
Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan,
berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, yang mendorong Tuhan
untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan
bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain.
Landasan surat al-Buruj ayat 16
فعال لمايريد
6.3. Aliran Maturidiyah
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand,
dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa segala
perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan
kewajibankewajiban hanya terhadap manusia. pendapat ini lebih dekat dengan
Mu’tazilah.
Adapun maturidiyah
bukharak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, Tuhan berbuat apa
saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya tidak ada yang
menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Tampaknya
aliran maturidiyah bukhara lebih dekat dengan asy’ariyah.
Comments
Post a Comment