Skip to main content

PERBANDINGAN BEBERAPA AJARAN DAN KONSEP TEOLOGIS DALAM ILMU KALAM DAN IMPLIKASINYA


A. Sejarah

1. Khawarij
Istilah Khawarij berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Alasan mereka keluar, karena tidak setuju terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menerima arbirtrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan.
Khawarij merupakan aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Asy-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin, maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.
Demikian pula, kaum khawarij dikenal sebagai sekelompok orang yang melakukan pemberontakan terhadap imam yang sah yang diakui oleh rakyat (ummat). Oleh karena itu, istilah Khawarij bisa dikenakan kepada semua orang yang menentang para imam, baik pada masa sahabat maupun pada masa-masa berikutnya. Namun demikian, dalam tulisan ini nama Khawarij khusus diberikan kepada sekelompok orang yang telah memisahkan diri dari barisan Ali.
Pengikut Khawarij, pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersipat sederhana, baik dalam cara hidup maupun dalam cara berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan cenderung radikal. Karena watak keras yang dimiliki oleh mereka itulah, maka dalam berfikir dan memahami agama mereka pun berpandangan sangat keras.
Aliran Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yang kemudian beralih menjadi gerakan teologis. Perubahan ini terutama setelah mereka merujuk beberapa ayat Alquran untuk menunjukkan, bahwa gerakan mereka adalah gerakan agama. dan secara terorganisir terbentuk bersamaan dengan terpilihnya pemimpin pertama, Abdullah bin Wahab Al-Rasyibi, yang ditetapkan pada tahun 37 H. (658 M). Karena pertimbangan-pertimbangan politis, Fazlur Rahman memandang bahwa Khawarij “tidak memiliki implikasi doktrinal yang menye-leweng, tetapi hanya seorang atau sekelompok pemberontak atau aktifis revolusi”.
2. Jabariyah
Pendapat Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan “Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata” dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan manusia.
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah Al-Ja’ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru’ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu’tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut.
 Selanjutnya ditangan Mu’tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi’i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu’tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu’tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu’tazilah, karena kaum Mu’tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu’tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.

3. Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari bahasa qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian termonologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri, berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus tunduk pada qadar tuhan.
Seharusnya sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat.
Namun sebutan tersebut telah melekai kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehandak. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadis yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu, ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinua reaksi keras ini. Pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat arab sebelum islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah kepada keganasan alam. Panas yang menyengat, serta tanah dan gunung yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya.faham itu terus dianut kedatipun mereka telah beragama islam, karena itu , ketika faham Qadariyah di kembangkan , mereka tidak dapat menerimanya, faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin islam.
Kedua tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan itu sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
4. Mu’tazilah
Munculnya aliran Muktazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir.
 Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha’ yang ketika itu menjadi murid Hasan Al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Demikianlah pendapat Wasil bin Atha’ yang kemudian menjadi salah satu doktrin Muktazilah yakni al manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Setelah mengeluarkan pendapatnya ini, Wasil bin Atha’ pun akhirnya meninggalkan perguruan Hasan al Basri dan lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal aliran Muktazilah. Setelah Wasil bin Atha’ memisahkan diri, sang guru yakni Hasan al Basri berkata: ”I’tazala ‘anna Wasil (Wasil telah menjauh dari diri kita).
Menurut Syahristani, dari kata i’tazala ‘anna itulah lahirnya istilah Muktazilah. Ada lagi yang berpendapat, Muktazilah memang berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu berarti memisahkan diri secara fisik. Muktazilah dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya, karena memang pendapat Muktazilah berbeda dengan pendapat sebelumnya. Selain nama Muktazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl al-Tauhid (golongan pembela tauhid), kelompok Ahl al-Adl (pendukung faham keadilan Tuhan), dan kelompok Qodariyah. Pihak lawan mereka menjuluki kelompok ini sebagai golongan free will dan free act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.
Ketika pertama kali muncul, aliran Muktazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Muktazilah baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).
Kedudukan Muktazilah semakin kokoh setelah Khalifah al Ma’mun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan il-mu pengetahuan. Dan, pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah deng-an peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, ja-di tidak qadim. Jika Alquran dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Al-lah, dan ini hukumnya syirik. 
5. Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan. dan Pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu Murji’ah, artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Bagi kaum Murji’ah, orang yang melakukan dosa besar adalah tetap mukmin, soal dosa besar yang dilakukannya merupakan hak Tuhan untuk menentukannya di hari
kemudian. Alasan mereka adalah bahwa orang yang melakukan dosa besar itu masih tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan (Rasul) Allah, atau dengan kata lain masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar iman. Selanjutnya, kaum Muhajirin memberikan harapan bagi orang Islam yang melakukan dosa besar, dengan mengatakan bahwa mereka tidak kekal di dalam neraka aliran Murji’ah menganggap iman lebih utama dari amal perbuatan
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah diantaranya:

1.      Teori yang mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh Al-Hasan bin Muhammad A1-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini, menceritakan hahwa 20 tahun setelah kematian Muawivah. pada tahun 680, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membawa faham Syi’ah ke Kufah dari tahun 685-687; Ibnu Zubayr mengklaim kekhalifahan di Mekah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam.
 Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan (postponenment). Gagasan ini pertama kali digunakan sekitar tahun 695, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam Surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan, 
“Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Usman, Ali, dan Zubayr (seorang tokoh pembelot ke Mekah).”
Dengan sikap politik ini. Al-Hasan mencoba mengulangi perpecahan umat Islam. la kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok syiah revolusioner yang terlampau menggunkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui ke khalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan dari sipendosa Usman.
2.      Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrasi) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah.   Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu. yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang    akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Quran dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hokum Allah.
 Oleh karena itu, rnereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukum kafir, sama seperti perbuatan dosa besar seperti zina, riba membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wnita baik-baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang keudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau lidak. 

6. Asy’ariyah
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap faham Mu’tazilah yang dianggap ‘menyeleweng dan menyesatkan’ umat Islam. Mu’tazilah pada masa al Ma’mun melakukan mihnah yang mendapat tanggapan negatif dari berbagai golongan, sehingga pengaruhnya sedikit memudar di mata masyarakat.
Pada saat inilah muncul Al Asy’ari, seorang yang dididik dan dibesarkan di lingkungan mu’tazilah. Ia menyelami ajaran-ajaran Mu’tazilah melalui gurunya, Al Jubbai. Dengan ketekunan dan kepandaiannya, maka ia menjadi murid kesayangan Al Jubbai dan sering diutus untuk mengikuti forum diskusi dan perdebatan Sehingga tak heran kalau ia kemudian menjadi terampil dalam berdebat dan beradu argumen, termasuk dengan gurunya sendiri, namun ia sering merasa kecewa dengan jawaban ataupun penjelasan gurunya. Hingga pada usia 40 tahun, Al Asy’ari menyatakan keluar dari Mu’tazilah mendirikan golongan baru, yang akhirnya populer dengan nama Asy’ariyah.
Pemikiran Teologis Asy’ariyah merupakan sintesa dari pertentangan antara kaum rasional Mu’tazilah dan kaum konservatif tradisional. Beruntungnya, pemikiran ini banyak diterima di kalangan masyarakat muslim. Pokok-pokok pemikiran ini dianggap merupakan jalan keluar dari pertentangan antara golongan rasionalis dan tekstualis, di samping itu sangat mudah untuk dipahami karena sederhana dan tidak terlalu filosofis.
Pokok-pokok pemikiran Asy’ariyah terus berkembang. Bahkan pokok-pokok pemikiran teologi Asy’ariyah telah menjadi keyakinan seluruh anggota Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Aliran ini semakin besar dengan dukungan Khalifah Al Mutawakkil, yang menjadikannya sebagai mazhab resmi negara. 
7. Maturidiyah
Aliran Maturidiyah menentang paham Muktazilah yang dianggap menyesatkan umat Islam.Setelah wafatnya Khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah keempat, umat Islam terpecah dalam memberikan dukungan. Ada yang meminta supaya diusut dulu penyebab wafatnya Usman dan siapa dalang di baliknya, sedangkan yang lain meminta ditegakkan dulu posisi khalifah untuk meredakan situasi yang genting.Kondisi yang ‘mencekam’ itu membuat umat Islam terpecah dalam memberikan dukungan kepada Ali bin Abu Thalib. Ada yang mendukung dan ada pula yang menentangnya.
 Akibatnya, bermunculan tuduhan saling menyesatkan di antara umat Islam. Bahkan, sampai ada kelompok yang mengafirkan kelompok lain.
Inilah salah satu faktor yang menyebabkan munculnya paham atau aliran teologi (akidah) dalam Islam. Di antara aliran teologi itu, salah satunya adalah aliran Maturidiyah.Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Aliran ini kali pertama muncul di Samarkand, pertengahan kedua abad kesembilan Masehi. Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Muktazilah dan Asy’ariyah mengenai kemampuan akal manusia.Aliran ini disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Asy’ariyah. Sebelum mendirikan aliran Maturidiyah ini, Abu Mansur al-Maturidi adalah murid dari pendiri Asy’ariyah, yakni Abu Hasan al-Asy’ari.
 Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama. Sebab, pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan pemikirannya.Pemikiran-pemikiran al-Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak hanya paham Muktazilah, tetapi juga aliran Asy’ariyah. Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy’ariyah. Karena itu, aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara teolog Muktazilah dan Asy’ariyah”.Namun, keduanya (Maturidi dan Asy’ari) secara tegas menentang aliran Muktazilah.
8. Syi’ah
Jika dikatakan Syiah sebagai bagian dari aliran Islam, ini berarti posisinya sejajar dengan aliran lain yang masing-masing memiliki peran dalam sejarah Islam. di Dalam buku “awamil dzuhur al-Firaq fi al-Fikr al-Islam”, dijelaskan bahwa Syiah pada awal mula perkembangannya merupakan aliran spiritual-politik pada masa dinasti umaiyah dan Abbasiyah, dengan gamblang Syiah (pendukung Ali) telah berkecimpung dalam lega politik, sehingga daripada itu  mulailah orang-orang asing bergabung bersama aliran ini dan setia menyokong visi dan misi Syiah, hingga akhirnya Syiah disambut hangat oleh banyak orang yang kemudian tersebar diberbagai daerah kekuasaan.
Hingga sekarang aliran ini (Syiah) menambah porsi kewilayahan dalam Agama serta dijadikan sebagai sistem pemerintahan. Hal ini menandakan bahwa keberadaan serta wujud Syiah tidak dapat dipungkiri.
Dalam perkembangannya Syiah terbagi kedalam beberapa golongan namun yang sekarang banyak dianut terdapat tiga golongan besar:
1.      Zaidiyah
Madzhab “Zaidiyah” dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.ra, golongan ini berkembang pesat di daerah Yaman, sebagai keyakinan  mereka bahwa kepemimpinan adalah hanya hak penuh bagi  keturunan Ali bin Abi Thalib r.a beserta keturunan beliau. hanya saja mereka memiliki persepsi lain yang menyatakan bahwa pemimpin boleh dua orang sekaligus dalam satu masa! mereka adalah golongan syi’ah yang paling dekat dengan pemahamam Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah. Isma’iliyah (Mazhab Tujuh Imam) dinisbatkan kepada Ismail bin Ja’far ash-Shidiq bin Muhammad baqir. Mereka berkeyakinan bahwa imam itu hanya berjumlah tujuh orang, dan imam yang terakhir adalah Isma’il bin Ja’far. Mereka mempunyai dua pemahaman; pertama: al-Buhira yaitu pemahamam yang mengatakan bahwa imam terakhir adalah Sutan al-Buhira, pemahaman ini berkembang di kalangan syi’ah yang berada di negara India dan Yaman. Kedua : al-Najariah yaitu kelompok yang mengatakan bahwa imam terakhir adalah Karim Khan, dan mereka ini juga tersebar di India, Pakistan dan Afrika sebelah timur.
·         Imamiyah Itsna Asyariyah 
 Golongan ini memiliki banyak pengikut, jika dikalkulakisan hingga mencapai 70 juta orang yang tersebar di berbagai Negara, diantaranya Iran, Irak, Pakistan, India, Rusia, dan juga tersebar dikawasan Siria, dan Yaman.Golongan ketiga ini (Syiah Imamiyah) merupakan aliran yang terdiri dari 12 Imam, berawal dari amirul mukminin Ali bin Abi Thalib.ra dan berakhir pada Abul qasim Muhammad bin Hasan (al-Mahdi). Golongan ini dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq, yang menyatakan keimaman Ali bin Abi Thalib r.a yang kemudian di gantikan keturunannya secara turun-temurun, mereka berpendapat bahwa Ja’far al-Shadiq tidak pernah menyerahkan keimaman kepada puteranya yang tertua (Ismail), karena dia meninggal sebelum ayahnya (Ja’far al-Shadiq) meninggal. namun jabatan itu dipangkukan kepada puteranya yang bernama Musa al-Kadzimi yang memegang jabatan selama 30 tahun.
Imam ke-sebelas dari golongan itsna ‘asyariyah ini dijabat oleh al-Hasan bin Ali al-Asykari dan puteranya Muhammad bin Hasan yang dianggap sebagai imam terakhir, imam yang ke-duabelas ini dengan laqab al-Hadi, al-Qaim, al-Hujjah, digelari pula dengan al-Muntazhar (yang ditunggu
B. Pemikiran dan Analisis
1. Wahyu dan akal
kaum Mu’tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik. berbeda dengan Mu’tazilah, kaum asy’ariyah berpendapat akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Tetapi akal tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan. Untuk mengetahui hal-hal tersebut diperlukan wahyu. Melalui wahyu manusia bisa mengetahuinya. Tanpa wahyu, manusia tidak akan tahu.
Golongan maturidiyah samarkan berpendapat, akal dapat mengetahui adanya Tuhan kewajiban dan berterima kasih kepada Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk, karena itu wahyu sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya.Golongan maturidiyah bukhara sependapat dengan kaum asy’ariyah.
2. Pelaku dosa besar
2.1. Menurut aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orangorang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44:
( ومن لم يحكم  بما انزل الله فأ لئك هم الكافرون)المائدة: 44
Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua sub sekte khwarij, kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.
2.2. Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan sub sekte Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat.
Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim dan mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan. Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraca.
2.3 Menurut aliran Mu’tazilah
Perbedaannya, bila khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah baial manzilataini.
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti wastul bin atha’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.
2.4. Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
2.5. Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraca, tetapi tidak kekal didalamnya.
2.6. Aliran Syi’ah Zadiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraca, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat washil bin atha’, mempunyai hubungan dengan zaid moojan momen bahkan mengatakan bahwa zaid pernah belajar kepada washil bin atho’.
3. Sifat-sifat Tuhan
3.1. Menurut aliran Mu’tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dan kaum asy’ariyah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa kepada paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau poltiplicity of eternals). Dan ini selanjutnya membawa pula kepada paham syirik atau polyteisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi.

Sebagian telah dilihat dalam bagian 1, kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini berarti bahwa Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuatan dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui dan sebagainya bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.
3.2. Menurut Aliran Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan Mu’tazilah mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
3.3. Aliran Maturidiyah
Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan alasy’ari, seperti di dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, basher dan sebagainya. Walaupun begitu pengertian al-maturidi tentang sifat berbeda dengan alasy’ari. Menurut al-maturidi sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah. Tampaknya paham al-maturidi, tentang makna sifat cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaannya almaturidi mengaku adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
3.4. Aliran Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syi’ah rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu, namun adapula sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahun terhadap sesuatu sebelum ia menghendaki. Tatkala ia menghendaki sesuatu, ia pun bersifat tahu, jika dia tidak menghendaki, dia tidak bersifat tahu, maka Allah berkehendak menurut merek adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan (taharraka harkah), ketika gerakan itu muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu. Mereka berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.




4. Iman dan Kufur
4.1. Aliran Khawarij
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar agar dengan demikian orang Islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas harta bendanya dengan dalih mereka berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali, Utsman, 2 orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam perang jamal dan orang-orang yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng.
Dan iman menurut kwaharij, iman bukanlah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahui pun belumlah cukup. Menurut Abd. Al-jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadanya,bukanlah orang yang mukmin, dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.

4.2. Aliran Murji’ah
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya.

4.3. Aliran Mu’tazilah
Iman adalah tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah Khawarij.

4.4. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara esensial adalah tasdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lesan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.

4.5. Maturidiyah
Iman adalah tasdid dalam hati dan diikrarkan dengan lidah, dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. yang penting tasdid dan ikrar.
5. Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
5.1. Aliran Jabariyah
Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa atas perbuatannya yang menentukan perbuatan manusia itu adalah Tuhan, karena itu manusia tidak berdaya sama sekali untuk mewujudkan perbuatannya baik atau buruk. Diumpamakan manusia seperti wayang yang tidak berdaya, bagaimana dan kemana ia bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu. Dalang manusia adalah Tuhan, ini dianggap paham Jabariyah yang dianggap moderat, perbuatan manusia tidak sepenuhnya ditentukan untuk Tuhan, tetapi manusia punya andil juga dalam dalam mewujudkan perbuatannya.
5.2. Aliran Qadariyah
Manusia mempunyai iradat (kemampuan berkehendak atau memilih) dan qudrah (kemampuan untuk berbuat). Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak lahirnya dengan qudrat dan iradat, suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut.

5.3. Aliran Mu’tazilah
Paham ini dalam masalah af’al ibadah seirama dengan paham Qadariyah untuk perbuatan-perbuatan Tuhan, mereka berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia seperti kewajiban Tuhan menepati janji-janji-Nya. Kewajiban Tuhan mengirim Rasulrasul-Nya untuk petunjuk kepada manusia dan lain-lain.

5.4. Aliran Asy’ariyah
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan qodrat dan iradat Tuhan, Abu Hasan Ali Bin Ismail al-Asy’ari menggunakan paham kasb yang dimaksud dengan al- Kasb adalah berbarengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Artinya apabila seseorang ingin melakukan suatu perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan kehendak Tuhan.
5.5. Aliran Maturidiyah
Menurut golongan maturidiyah, kemauan sebenarnya adalah kemauan Tuhan namun tidak selamanya perbuatan manusia dilakukan atas kerelaan Tuhan karena Tuhan tidak menyukai perbuatan-perbuatan buruk. Jadi di dalam aliran maturidiyah ada 2 unsur: kehendak dan kerelaan.
6Kehendak muthlak dan keadilan Tuhan
6.1. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah yang berperinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin bebuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat perbuatannya, secara lebih jelas aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan sebenarnya tidak mutlak lagi. Itulah sebabnya Mu’tazilah menggunakan ayat 62 surat Al-Ahzab (33)
سنة ال فى الذين خلوا من قبل ولن تجد لسنة ال تبديل
6.2. Aliran Asy’ariyah
Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain.
Landasan surat al-Buruj ayat 16
فعال لمايريد
6.3. Aliran Maturidiyah
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajibankewajiban hanya terhadap manusia. pendapat ini lebih dekat dengan Mu’tazilah.

Adapun maturidiyah bukharak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Tampaknya aliran maturidiyah bukhara lebih dekat dengan asy’ariyah.

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian Positivisme

Pengertian Positivisme Pengertian Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Tokoh aliran ini adalah August Comte (1798-1857). Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya ekspe

MAKALAH TENTANG PUASA

BAB I PENDAHULUAN A.     Latarbelakang Seperti yang kita ketahui agama islam mempunyai lima rukun islam yang salah satunya ialah puasa, yang mana puasa termasuk rukun islam yang keempat. Karena puasa itu termasuk rukun islam jadi, semua umat islam wajib melaksanakannya namun pada kenyataannya banyak umat islam yang tidak melaksanakannya, karena apa? Itu semua karena mereka tidak mengetahui manfaat dan hikmah puasa. Bahkan, umat muslim juga masih banyak yang tidak mengetahui pengertian puasa, dan bagaimana menjalankan puasa dengan baik dan benar. Banyak orang-orang yang melaksanakan puasa hanya sekedar melaksanakan, tanpa mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya, pada saat mereka berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar saja. Sangatlah rugi bagi kita jika sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala. Oleh karena itu dalam makalah ini saya akan membahas tentang apa itu puasa, tujuan, hikmah puasa dan lain-lain. B.     

Code Gray, Seven Segment, dan ASCII

Code Gray, Seven Segment, dan ASCII 1. GRAY CODING ·          Gambaran umum Gray Code? Gray code merupakan cerminan dari binary code (kode biner), yang artinya angka terkhir pada string dapat sama dengan angka awal.tetap dalam urutan terbalik,sehingga dapat memungkinkan untuk membangun dan meningkatkan kegunaan dari kode biner standar atau natural. FRANK GRAY ,peneliti Bell labs,dimana nama belakangnya digunakan (Grey Code) ,mengembangkan sistem bilangan biner ini untuk membantu mengontrol electromechanical switch. Saat ini, Grey code digunakan untuk berbagai macam Environment, terutama pada komunikasi digital dimana sinyal analog perlu diubah menjadi media digital. ·          Apa itu Gray Code? Gray code merupakan bentuk biner yang menggunakan metode yang berbeda dari incrementing dari nomor satu ke berikutnya. Dengan gray code, hanya terdapat satu perubahan keadaan dari satu posisi ke posisi lainnya. Fitur ini memungkinkan perancang sistem untuk melakukan beberapa